Senin, 12 Juni 2023

Hartono


Hartono adalah anak satu-satunya putra dari keluarga Yamin dan Sumini. Mereka tinggal di suatu desa yang bernama Desa Mekar Jati di Kecamatan Teluk Nilau. Hartono baru saja menginjak usia 18 tahun dua bulan yang lalu. Sementara Yamin merupakan seorang pegawai desa di kantor kelurahan Mekar Jati. Dan Sumini merupakan seorang ibu rumah tangga biasa di kalangan ibu-ibu yang tinggal di sekitarnya. 

Penghasilan keluarga mereka dapat dibilang cukup dari gaji Yamin sebagai pegawai sekretariat kantor lurah di desa tersebut. Keluarga mereka merupakan keluarga bahagia di mana rumah tersebut penuh akan belaian kasih sayang bagi Hartono. Bagi Hartono kedua orang tuanya adalah hidup dan matinya. Hingga pada suatu hari di hari Jumat, saat Hartono bekerja, dkat mendapatkan telepon dari ibunya yang sedang berada di rumah.

“Assalamualaikum, Bu,” salam Hartono ketika baru saja mengangkat telepon dari ibunya.

“Walaikumsalam, Ton,” sahut ibunya dengan nada cemas dan panik.

Sontak saja hal itu membuat Hartono panik karena mendengar suara ibunya yang terlihat cemas. Namun baru saja ingin Hartono bertanya kepada ibunya ia kalah cepat dengan sahutan ibunya.

“Ton, kamu di mana, Ton?”

“Ada, Buk. Tono ada di pasar," jawabnya singkat. “Ada apa, Bu?”

“Bapakmu, Ton." 

“Bapak kenapa, Bu?"

“Bapakmu sakitnya kambuh, Ton. Tadi Ibu dapat telepon dari orang kantor desa, kalau bapakmu tak sadarkan diri, Ton," jawab ibunya sambil menangis.

Innalillahi wainnailaihi rojiun," ucapnya sedikit kaget karena sangat jarang sekali bapaknya yang mengidap sakit asma itu kambuh, hingga tak sadarkan diri.

“Terus bapak di mana, Bu?" timpalnya dengan keadaan panik dan sedikit masih sedikit tak percaya.

“Ini, Ton. Bapakmu dibawa puskesmas, kita disuruh kesana, Ton," jawab ibunya dengan nada gemetaran.

“Ibu takut, Ton." 

Wes, wes Ibu seng tenang dulu ya pokonya. Sekarang Tono balik jemput Ibu. Nanti kita ke sananya bareng," ucap Tono sembari menenangkan ibunya yang sudah panik dan gemetaran.

Setelah menutup telepon sesegera mungkin Tono berkemas akan barang-barangnya, kemudian memohon izin kepada Pak Haji tengkulak sayur tempatnya bekerja di pasar. Pak Haji adalah orang baik yang menerimanya bekerja sebagai kuli sayur miliknya. Tiap pagi Hartono akan ikut Pak Haji menjemput sayur mayur yang ditanam petani di lading. Kemudian membantunya menata dagangan di pasar. Meskipun hanya diberikan upah dua puluh lima ribu perhari, setidaknya itu dapat membantu perekonomian keluarganya.

Sesampainya di puskesmas, Hartono langsung menyuruh ibunya untuk turun dari motor. Kemudian Hartono memarkirkan motornya di bawah pohon jarak milik puskesmas.

“Ton, Ibu takut, Ton," ucap ibunya sambil kakinya bergemetar.

“Bu, Ibu seng tenang,” ucapnya sambil membelai dahi ibunya itu, “Pokonya Bapak tidak kenapa-kenapa. La wong tadi pagi Bapak juga baik-baik aja to," ucapnya sambil menenangkan ibunya.

“Tadi pagi bapakmu sempet ngeluh dadanya sakit pas mau berangkat," ucap Sumini sambil mempercepat jalannya ke arah pintu puskesmas.

Keduanya terus mempercepat langkah ke arah puskesmas yang hampir berjarak dua puluh meter dari tempat ia memarkirkan motornya tadi.

Sesampainya di ruangan resepsionis Sumini langsung saja menghampiri resepsionis yang tengah sibuk memainkan ponsel di tangannya.

“Bu, suami saya gimana, Bu?” ucap sumini kepada resepsionis. 

“Bagaimana keadaannya?" 

“Bu, tunggu sebentar ya, Bu. Pak Yaminnya sedang ada di ruangan gawat darurat," ucap seorang perempuan yang mengenakan baju putih seragam hijau kebiruan tersebut.

“Bu, bisakah antarkan kami keruangan bapak saya?” ucap Hartono sambil mendekatkan diri ke meja resepsionis.

“Mari, Mas, Bu, saya antarkan," ucap resepsionis tersebut sembari berjalan ke arah dalam puskesmas.

Sesampainya di depan ruangan gawat darurat terlihat lah seorang lelaki paruh baya yang sedang terbaring kaku di atas tempat tidur pasien. Lelaki paruh baya yang sedang terbaring itu adalah ayah Hartono yang sedang ditangani oleh seorang dokter yang serba mengenakan seragam putih.

Sumini berdiri mematung di depan pintu menyaksikan dengan jelas adegan dokter menggunakan stetoskop di atas dada suaminya yang berpindah dari dada kanan dan ke kiri melalui pintu ruangan yang terbuka. Selang berapa detik Hartono yang mendekatkan diri ke Sumini dan memegang bahu ibunya yang sudah dirundung cemas sejak awal. Keduanya masih berdiri tak berani masuk karena takut mengganggu pekerjaan sang dokter.
Adegan yang tak terduga dari Hartono dan Sumini adalah ketika dokter melepaskan stetoskop dari telinganya kemudian memegang tangan pak Yamin yang sudah mulai mengkeriput karena dimakan usia, dan dilanjutkan adegan dokter meletakan jari telunjuk tangan kanannya tepat pada lubang hidung Pak Yamin. Kemudian disusul dengan gerakan menggeleng-gelengkan kepala dengan pelan.

Deg! Serasa jantung Hartono berhenti berdetak, mendadak matanya keram dan berkunang, dadanya sesak untuk bernafas, kemudian ia memandangi ibunya yang masih mendekapkan tangannya dengan bibirnya yang menggigil, dan matanya yang penuh harap akan kesembuhan dari suaminya. Seorang ibu paruh baya yang polos itu masih belum sadar dengan pemandangan yang terjadi di depanya, yang ada di pikirannya hanya suaminya mampu sembuh dan bisa sehat kembali. Namun berbeda dengan perasaan Hartono yang sudah hancur bak gelombang tsunami yang menghancurkan kehidupan di pinggir pantai, kakinya sudah bergetar kaku, bibirnya tak mampu lagi berkata. Namun pada waktu itu tak sampai hati ia ingin memberitahu kepada ibunya. Satu-satunya yang bisa ia lakukan adalah merangkul ibunya dan mendekatkan kepala ibunya ke pundaknya, yang membuat air mata Sumini berkumpul pada kelopak matanya.

Tak selang beberapa lama dokter yang menangani Pak Yamin pun segera berbalik dan berjalan menuju tempat mereka berdiri.

“Bener ini keluarganya?” tanya dokter itu ingin memastikan keluarga dari Pak Yamin.

“Bener, Dok. Saya istrinya dan ini anaknya," ucap Sumini sembari memegang pundak putranya. “Lalu bagaimana keadaan suami saya, Dok?” tanya Sumini dengan penuh harap.

Dokter kemudian maju beberapa langkah dan mendekat sedikit ke samping tepat berdekatan dengan Hartono, dan kemudian menarik nafas dengan berat.

“Bu, Pak Yamin sudah tiada. Sepertinya sakit asma yang dideritanya selama ini sudah cukup parah. Tidak bisa disembuhkan lagi," ucap dokter muda itu sambil membuang nafas dengan beratnya di depan mereka.

“Mas Hartono dan Ibu Sumini, saya turut berbela sungkawa atas kepergian Pak Yamin," ucapnya lirih sembari memegang bahu Hartono. “Semoga, segala amal dan ibadah beliau dapat diterima di sisi Tuhan Yang Maha Esa." Setelah berkata demikian dokter pun segera kembali berjalan ke ruangannya.

Sepeninggalan dokter tersebut Sumini duduk terkulai lemas di samping Pak Yamin. Air mata yang tadinya bersemayam di kelopak matanya pun perlahan menetes diiringi isak tangis Sumini. Hatinya hancur bersama harapnya. Sementara Hartono mematung berdiri di samping ibunya seolah tak percaya bahwa sosok ayah yang ia hormati, sekarang harus pulang ke tempat peristirahatan terakhirnya, dan ia masih tak percaya bahwa tadi malam adalah malam terakhir ia meminum kopi dan merokok bersama bapaknya.

"Bu. Ibu yang sabar. Bapak udah pulang duluan. Bapak udah tenang, Bu. Udah nggak sakit lagi," ucapnya sambil mengelus pundak ibunya. “Ibu. Sampun, Bu. Bapak sedih nanti kalau liat Ibu menangis begini.”

“Iya, Ton," jawabnya singkat. “Ibu takut, Ton. Ibu seperti belum siap ditinggal bapakmu," ucapnya penuh isak dan memeluk putra semata wayangnya itu.

“Sudah, Bu. Sudah. Ibu tenang ada Hartono di sini," jawab Hartono sambil mengelus pundak ibunya.

Tiga bulan setelah sepeninggalan ayahnya, hidup Hartono mulai menuai berapa masalah seperti ekonomi yang kurang membaik. Tabungan yang telah disimpan ayahnya juga sudah mulai habis. Gaji dari hasil ia bekerja di tempat Pak Haji Rokim pun tak cukup untuk menghidupi ia dan ibunya. Ditambah lagi ibunya sering sakit-sakitan. Hartono pun sering terlihat murung karena memikirkan hal tersebut, hingga di suatu hari hal itu dipertanyakan oleh ibunya.

“Huhuk uhukkk. Tonnnn. Ibu lihat kamu sering melamun akhir-akhir ini," ucap ibunya sembari meletakan teh di atas meja ruang tamu di tempat Hartono duduk. 

"Kalau ada masalah itu, ya, mbok cerita gitu sama Ibu." Kemudian duduk di sebelah Hartono.

“Tidak apa buk," jawabnya singkat.
“Aku ini ibumu. Aku tahu apa yang ada di kepalamu itu," sembari mengoleskan balsam di dadanya yang parau.

“Bu, bagaimana kalau Hartono merantau saja," jawabnya sedikit ragu, takut membuat hati ibunya sedih.

“Oalah, Ton. La kamu ini kenapa to kok malah mau merantau?" seka Sumini sembari memalingkan pandangan di pojok ruangan rumah.

Hartono pun sudah menduga hal itu akan membuat hati ibunya sedih ia pun segera meminum teh buatan ibunya, "Tapi, Bu. Apa bisa kalau kita hidup begini terus, Bu?" Tabungan peninggalan Bapak juga sudah mulai menipis. Gaji tempatku bekerja di Pak Haji Rokim juga tidak cukup untuk memenuhi kehidupan sehari-hari," jawabnya meyakinkan ibunya.

Sumini pun meneteskan air mata. “Tonnn. ibu takut, Ton kalau harus ditinggal merantau. Ibu tidak punya siapa-siapa lagi," jawabnya menyeka air mata. "Apa kamu gak bisa gitu, Ton kamu cari kerja di sekitar sini, yang dekat-dekat saja,"  jawabnya sedikit mulai tenang.

Hartono pun hanya dia terpaku sambil memandangi beberapa ruas-ruas ventilasi yang telah dipenuhi sawang, dan jaring laba-laba. Kemudian memutuskan untuk mengambil teh dan meminumnya hingga gelas itu kosong.

"Bu. Aku pamit kerja dulu ya, Bu. Takut terlambat," ucapnya mengalihkan pembicaraan dan berhasil membubarkan lamunan ibunya yang juga terdiam mematung sambil menyilangkan kedua tangannya di atas paha.

Hartono pun menyalami ibunya, dan kemudian segera pergi dengan menggunakan sepeda motor yang dipinjamkan oleh Pak Haji. Selama perjalananya pun isi pikiran Hartono dipenuhi dengan rasa kebimbangan dan keraguan hatinya. Dia ingin sekali pergi merantau dan mendapatkan uang lebih untuk mengobati sakit asma ibunya, tapi di sisi lain dia bimbang akan ibunya, hingga akhirnya sampailah ia di tempatnya bekerja.

“Assalamuallaikum, Pak," ucapnya singkat menyapa pria yang berjenggot putih berpeci putih, yang hanya memakai kaus oblong saja.

“Walaikumsallam, Ton,” jawabnya singkat. Sambi berdiri yang awalnya tadi membungkuk memilah ubi yang boleng-boleng. “Ibu kamu sudah sembuh, Ton?”

"Sudah, Pak Haji," jawabnya singkat dan kemudian Hartono pergi ke depan untuk membawa ubi yang bagus, yang telah di sortir oleh bosnya.

Satu hari ini bekerja Hartono banyak sekali melakukan kesalahan mulai dari salah memberikan timbangan hingga salah memberikan jumlah kembalian pelanggan, dan Hartono banyak merenung dan terdiam. Tentu saja ini membuat Pak Haji sedikit bingung, hingga di waktu pulang Pak Haji mempertanyakan keadaanya.

“Ton, kemari. Dari tadi pagi hingga sore kamu sepertinya kurang fokus bekerja ton?” tanyanya sambil ingin memberikan upah kepadanya.

“Iya, Pak. Maaf saya ada masalah, Pak," jawabnya sambil menggaruk kepala dan mendekat ke teras rumah Pak Haji.

“Cerita lah, Ton. Kamu itu sudah saya anggap keluarga," timpalnya sambil memberikan upah hariannya kepada Hartono.

“Gini, Pak Haji. Saya bingung dengan kebutuhan rumah saya, dan uang untuk berobat ibu," timpalnya dengan muka menunduk.

“Terus gimana, Ton? Apa kamu mau minjam uang untuk berobat ibumu dulu?" jawabnya sambil meminum kopi yang sudah diseduh dari tadi siang.

“Eh tidak, Pak Haji. Almarhum bapak saya bilang untuk tidak meminjam uang selagi kita masih bisa kerja," jawab Hartono sambil memijat-mijat kakinya yang kebetulan tengah duduk bersila.

“Yaa, aku kenal betul dengan wataknya si Yamin itu. Lantas apa rencanamu, Ton?” tanya Pak Haji dengan santai kepada pemuda yang baru menginjakan usianya yang ke delapan belas tahun itu.

“Jadi gini, Pak Haji. Saya punya rencana untuk merantau," jawabnya dengan polos.

“Haaa, merantau?” jawab Pak Haji sedikit kaget. “Ke mana, Ton?” timpalnya.

“Rencana ke kota, Pak," jawabnya singkat dengan kepala tertengadah yakin.

“Kapan berangkat, Ton?”

“Rencana saya secepatnya, Pak Haji. Besok atau lusa." 

“Jadi hari ini kerja terakhir kamu ya?” tanya nya sambil memanggut-manggutkan kepalanya.

“Iya, Pak Haji,” jawab Hartono dengan mantap.

“Ya sudah kalau itu sudah menjadi keputusan kamu, Ton. Saya juga gak bisa ngelarang. Toh itu juga demi kebaikanmu,”

“Iya, Pak Haji. Saya juga berharap begitu,” jawab Hartono dengan nada yang berat.
Pak Haji Rokim pun mengeluarkan beberapa lembar uang berwarna merah dan biru dari kantung bajunya, dan memilih beberapa lembar uang dan  memberikannya kepada Hartono.

“Ton, ini uang buat ongkos kamu nantinya. Mungkin tidak banyak, tapi semoga saja cukup untuk ongkos perjalananmu,” ucapnya sambil memberikan uang tersebut kepada Tono. "Dan saya juga berterima kasih sudah membantu saya dalam berjualan ton,” timpalnya.

“Terima kasih, Pak Haji,” jawab Tono sambil mencium tangan Pak Haji.

Sesampainya di rumah Hartono kemudian pergi ke kamar ibunya di belakang dekat dapur dan melongokkan kepalanya di sela-sela pintu kamar ibunya. Terlihat wanita tertidur miring, dengan badan yang kurus digerogoti penyakit asma. Hati Hartono terenyuh karena wanita itu adalah satu-satunya orang yang ia miliki saat ini, hingga setelah cukup lama ia memandangi ibunya, Hartono pun segera pergi ke kamarnya untuk mengemasi bajunya yang ada di lemari ke dalam tas jinjing milik ayahnya.

Tak terasa waktu sudah mulai subuh. Hartono yang tidak tertidur satu malam penuhnya dihabiskan dengan mengemasi bajunya dan membersihkan kamarnya. Kemudian ia pergi ke kamar ibunya dengan niat untuk membangunkan ibunya, namun sesampainya di kamar ibunya ia melihat ibunya yang tengah salat. Akhirnya urung hati niat si Hartono untuk menegur ibunya dan segera ia duduk di pinggir tempat tidur.

“Loh, Ton. Sejak kapan kamu di kamar ibu?” tegur ibunya yang telah selesai salat.

Sontak saja teguran iu membuat Tono gugup dan membuyarkan lamunan dan kegelisahan hatinya. “Eh nggak, Bu,” jawabnya singkat karena reflek. “Ini, Bu. Ada yang mau Tono omongin sama Ibu,” timpanya.

“Uhuuk uhukk. Ya sudah kamu tunggu Ibu di ruang tamu ya, Ton,” ucap Sumini sambil melipat mukena yang ia kenakan. 

Selang beberapa lama keluarlah Sumini sambil membawakan teh dan ubi rebus yang telah direbusnya tadi malam.

“akenapa to, Ton? kok tumben sekali kamu ada pembicaraan serius gini?” tanya ibunya sambil duduk di sebelahnya.

"Jadi gini, Bu. Hartono sudah memutuskan untuk pergi ke kota, Bu untuk merantau,” jawabnya dengan penuh memastikan kepada ibunya, untuk mendapatkan restunya.

“Terus kerjamu ditempat Pak Haji gimana, Ton?” tanya ibunya.

“Saya sudah berhenti, Bu,” jawabnya singkat.

“Terus kamu kapan berangkatnya, Ton?”

“Hari ini, Bu. Tadi malam aku sudah telepon temen Tono yang supir mobil ikan,” tukasnya singkat. “Dan nanti siang dia yang akan jemput Tono, Bu,”

“Ton. Sebenarnya Ibu ga tega kalua kamu harus bekerja di kota,” Sumini terisak, dan terlihat air matanya menetes pelan. “Tapi kalau itu sudah menjadi keinginanmu, Ton, Ibu cuma bisa berdoa semoga kamu bisa mendapatkan pekerjaan yang layak di kota.”

“Aaminn, Bu. Doa yang seperti inilah yang Tono harapkan dari Ibu, dan semoga Tono lekas mendapatkan uang untuk mengobati penyakit Ibu,” jawabnya sambil memeluk Sumini dengan diiringi isak tangis keduanya.

Teeet tettt. Tiga jam kemudian datang lah sebuah mobil dengan muatan penuh box es yang di dalamnya terdapat ikan-ikan nila beku yang akan dibawa ke kota. Tampak dari depan keluar lah seorang pemuda seusia Hartono dengan menggunakan topi hitam, dan melambaikan tangan ke arah Tono yang sedari tadi menunggu di depan teras.

“Bu. Tono berangkat dulu nggeh. Itu temenku sudah datang,” ucapnya sambil menyalami ibunya dan mencium tangan ibunya. Dan kemudian disambut peluk yang begitu eratnya dari sang ibu.

“Kamu hati-hati ya, Nak di kota, dan ini Ibu ada sedikit uang tabungan. Semoga saja bisa kamu gunakan saat kebutuhan mendadak,” ucapnya penuh isak sembari memberikan amplop berwarna putih. “Dan satu yang harus kamu ingat, jangan samakan di desa dan di kota.”

“Iya, Bu. Tono berangkat dulu, Bu. Assalamualaikum,” ucap Tono kepada ibunya.

“Walaikumsalam,” ucap Sumini dengan berat.

Berjalan lah Hartono sambil menenteng tas yang telah ia persiapkan tadi malam, meskipun dengan berat hati Hartono harus rela meninggalkan ibunya sendirian di rumah. Ditambah lagi dengan keadaan yang sakit-sakitan. Namun dia harus segera mendapatkan uang untuk kebaikan keluarganya sekaligus untuk berobat ibunya.

Perlahan mobil yang ditumpangi Hartono pun perlahan menghilang meninggalkan ibunya yang masih saja berdiri dan melambaikan tangannya dengan penuh harap bahwasanya anaknya akan baik-baik saja di kota. Tak hentinya bibirnya berkomat- kamit membacakan ayat-ayat suci untuk anaknya.

***

Sudah satu minggu Hartono berada di kota. Dirinya tinggal di suatu kos kumuh di belakang kota. Namun apa yang dibayangkan selama ini salah. Dirinya selalu membayangkan bahwa di kota merupakan tempat yang banyak pekerjaan, namun ternyata justru sebaliknya. Mencari pekerjaan hanya dengan mengandalkan ijazah SMP-nya begitu susah. Setiap toko yang hartono datangi selalu memberi syarat minimal SMA. Sudah hampir empat hari ini ia mengelilingi separuh kota dengan berjalan kaki, menanyakan toko dari toko, ruko ke ruko. Namun dengan membawa semangat dan doa dari ibunya membuatnya tak merasa Lelah sedikitpun meskipun keringat sudah membasahi punggungnya.

Hari ini adalah hari ke tujuh Hartono berada di kota dirinya rindu dengan keberadaan ibunya di kampung. Dirinya pun berinisiatif untuk menelepon ibunya.

“Halo. Assalamualaikum, Bu.”

“Walaikumsalam, Tono. Masyaallah, kamu kenapa baru menelepon ibu sekarang, Ton,” ucap ibunya dari seberang sana.

“Iya, Bu. Maaf Tono baru saja beli pulsa,”
ucapnya berbohong kepada ibunya padahal dia tidak ingin menelepon ibunya karena tak ingin ibunya khawatir tentangnya.

“Owalahhh, terus gimana, Ton? Sudah dapat kerjanya?” tanya ibunya.

“Belum, Bu. Sepertinya memang belum rezekinya, Bu,” ucap Tono dengan tenang.

“Ya sudah, Ton. Ibu matikan dulu ya, Ton teleponnya. Ibu mau mencuci baju soalnya sudah ibu rendam dari tadi.”

“Iya, Bu. Tidak mengapa soalnya Tono juga ingin pergi cari kerja, Bu.”

“Jangan lupa makan, ya. Assalamualaikum.”

“Walaikumsalam, Bu. Ibu juga.”

Telepon pun kemudian dimatikan oleh Tono. Dia kemudian melanjutkan untuk tiduran sebentar di atas kasur, karena kakinya terasa sangat keram sekali. Sesekali ia memijat mengunakan balsam. Pandangan Tono menatap tajam ke atap-atap rumah yang sangat penuh dengan sawang dan jaring laba-laba. Pikirannya sedang ruwet memikirkan bagaimana cara ia mendapatkan kerja. Namun lelahnya badan tak dapat dibohongi. Tak berapa lama kemudian Hartono tertidur pulas di atas kasur dengan lelapnya. 

***

Masih dalam lelapnya Hartono mendapati sebuah mimpi di mana dirinya berdiri dengan tegapnya di ambang pintu. Matanya yang tajam tertuju pada mayat seorang perempuan yang sedang dikafani dan diiringi dengan isak tangis dari beberapa orang di pojokan dekat sofa itu. Dalam mimpinya itu Tono berjalan mendekati mayat yang terbaring kaku dengan wajahnya yang tertutup kain kafan dan dikelilingi dengan bunga kenanga dan melati. Di saat semua orang sibuk akan tugasnya masing-masing Tono kemudian tanpa sengaja melihat sebuah tulisan dengan tertulis “Sumini binti Jono”. Seketika mata Tono kaget dan terbelalak tajam pada tulisan tersebut, dikarenakan masih belum percaya dengan apa yang dia lihat di depannya saat ini. Dia pun segera bertanya kepada seorang yang sedang menggunting kain kafan.

“Maaf, Bu Le. Kalau boleh tau mayat siapakah ini?” Namun anehnya wanita yang ia tanya tidak menjawab sama sekali justru langsung membuka kain kafan yang digunakan untuk menutupi wajah dari jenazah tersebut.

“Ibu!!!!” Kagetnya bukan kepalang melihat jenazah yang di hadapannya adalah ibunya. Hartono kemudian langsung memeluk jenazah wanita yang telah kaku tersebut, air matanya mengalir begitu deras.

“Maafkan aku Ibu, maafkan anakmu ini,” tangisnya penuh isak.

Tangis Hartono di dalam mimpinya tersebut sepertinya terbawa ke alam dunia nyata. Dia pun sesegera tersadar dengan muka merah dan dengan nafas yang tersengal-sengal. Ia sesegara mungkin mengambil air mineral untuk meminumnya. Bayangan wajah ibunya yang telah meninggal masih terekam jelas di pikirannya. Dia pun segera memenangkan diri sambil mengatur nafasnya yang tak beraturan.

“Ya Allah. Sungguh seram sekali mimpku pada hari ini,” gumamnya sembari melihat sekelilingnya yang telah gelap. Hartono pun sesegera mungkin menghidupkan lampu kamarnya, dan terlihat lah jarum jam yang ada di dindingnya telah menunjukan pukul sembilan malam. Rupanya ia ketiduran cukup lama.

“Pertanda apakah mimpiku ini.” Ia masih saja bergumam dan memikirkan mimpinya barusan. “Almarhum Bapak pernah bilang kalau kita memimpikan orang meninggal. Maka orang itu akan berumur panjang,” gumamnya sambil tersenyum karena teringat akan ibunya yang di kampung.
Hartono pun kembali lega semoga saja perkataan ayahnya itu benar. Ia pun segera beranjak ke kamar mandi untuk berwudlu karena dirinya belum melaksanakan salat.

Trenggg!!! Trengggg!! Tiba-tiba saja teleponnya yang terletak di kasur berdering dengan diiringi getar khas telepon genggam jadul. Hartono yang masih dikamar mandi pun membiarkan nya saja, hingga kemudian a keluar dan segera menuju cermin untuk mengenakan peci yang tergantung di paku dan mengenakanya sambal bercermin, dan kemudian trengggg! Trenggggggg! Teleponnya kembali berbunyi.

“Hah?” ucapnya kaget setelah membaca nama peneleponya saat itu. “Ibu? Alangkah tumbennya Ibu menelpon malam-malam begini?” ucapnya sambil bergumam dengan keheranan.

“Agh, baguslah sekalian aku ingin bercerita kalau aku tadi memimpikan yang aneh tentangnya,” ucapnya sambil tertawa terkekeh.

“Hallo. Assalamualaikum, Bu,” ucapnya dengan lembut seperti biasanya. Namun tidak ada sautan sedikit pun. Yang ada hanya suara riuh tetapi dari kejauhan.

“Assalamualaikum, Bu” ucapnya sekali lagi, “Ada apa, Bu nelpon Tono malam-malam?” ucapnya sambil berjalan dan duduk di pinggir amben tempat tidur.

Hartono pun semakin bingung dan mengernyitkan dahinya, bingung dengan apa yang terjadi tetapi pikirnya mungkin ibunya sedang berada di suatu acara.
Namun tiba-tiba saja terdengar suara perempuan dari seberang sana.

“Assalamualaikum, Mas Har.” Suara dari seberang sana dari perempuan yang masih muda dan tentu saja itu bukan ibunya,
“Loh, Lina?” ucapnya kaget karena bukan ibunya yang memegang telepon tersebut. 

“Linn, kok kamu bisa pegang hp ibuku?” Hartono tahu kalau itu Tina, tetangganya karena hanya dia satu-satunya wanita di desa yang memanggilnya Mas Har.

“Iya, Mas. Ini Lina,” jawabnya panik.

“Loh kamu kenapa Lin? Kok panik gitu ada apa?” Tono juga sudah merasa ada yang tidak beres dengan ibunya.

“Mas, Ibu Sum jatuh, Mas di kamar mandi,” ucapnya dengan panik

“Kok bisa, Lin?” ucap Tono dengan kaget 

“Terus ibuku gimana?” timpalnya.

“Jadi gini, Mas. Tadi Lina pulang dari pasar lihat pintu rumah Bu Sum terbuka depannya dan jendelanya juga terbuka, tapi Lina ga berpikir apapun. Mungkin Bu Sum lagi di dalam rumah. Tapi, Mas, pas udah petang Lina liat pintunya juga masih terbuka dan jendela juga terbuka, dan yang membuat Lina curiga lampunya belum dihidupkan, Mas,” ucapnya dengan nada terbata-bata dan Lina pun berhenti berbicara sebentar untuk mengambil nafas.

“Lina pun mengajak ayah dan ibu Lina untuk melihat keadaan Bu Sum, dan kami pun memanggilnya dari teras, Mas. Tapi tidak ada jawaban. Terus Ayah menyuruh Ibu untuk memanggil Pak RT dan warga sekitar. Setelah terkumpul, Mas, kami pun masuk ke dalam rumah dan mencari Bu Sum sambil memanggilnya tapi tak ada sahutan sedikit pun.”

Lina pun berhenti kembali untuk mengambil nafas.

“Terus gimana, Linn?” desak Tono yang semakin panik dengan keadaan ibunya.

“Terus kami melihat Bu Sum tergeletak di kamar mandi, Mas. Kami pun segera mengecek dan Ayah kemudian membopongnya ke kamar, Mas. Tapi....” Lina pun berhenti kembali. Tapi kali ini bukan karena kehabisan nafas.

“Tapi apa Linn? Cepat katakan.” Hartono pun langsung berdiri.

“Tapi Bukm Sum sudah tak ada lagi, Mas” ucap Lina terdengar berat dari seberang sana.

Degggggg! Kaki Hartono lemas. Terduduk tubuhnya terkulai lemas di dekat kasur. Kakinya pun tak mampu lagi menopang berat tubuhnya. Bibirnya gemetar. Telepon di tangannya pun sudah terjatuh ke bawah kakinya. Perasaanya kala itu sudah hancur menjadi jutaan keping bersama dengan datangnya sebuah kabar yang begitu menyesakan dadanya.

Innalilahi wainailaihi rojiun.” Bibirnya masih gemetar mengucapkan kalimat itu. Hartono pun langsung teringat akan segala kenangan-kenangan bersama ibunya kala  ia meminta izin untuk pergi ke kota, dan ternyata ketakutan akan ibunya itu adalah pertanda bahwa umur ibunya memang sudah tak lama lagi. Siapa sangka ubi rebus dan teh hangat yang ibunya sajikan waktu itu, dan pelukan yang menghantarkannya di teras rumah itu adalah yang terakhir kalinya.

Tinggal lah sesal di hatinya kedua orang tuanya pergi. Tak sempat ia membimbing dan membisikkan dua kalimat syahadat di telinga orang yang telah membesarkannya dengan penuh cinta.



Ahadianto, mahasiswa Sastra Indonesia Universitas Jambi

Selasa, 31 Mei 2022

Konsep Penciptaan Alam


Dunia itu begitu luas. Terdapat banyak sekali parlemen yang harus kita bahas dengan tuntas. Dengan pengetahuan kita yang sedikit terbatas, maka tentu otak kita harus kita asah untuk menjadi cerdas. Kalau kita renungkan dengan pikiran yang sedikit menguras, ada dua bagian di dunia ini yang tak mungkin bisa kita lepas. Yaitu Sang Kholiq yang senantiasa singgah di atas, juga ada makhluq yang dicipta dengan keadaan masing-masing dengan bentuk dan tatanan yang pas. Ma Siwallah merupakan definisi sederhana dari kompleksnya makna kedua yang begitu pantas. Di dalamnya masih bisa dipilah dari yang mati diam tak bergerak dan yang hidup bisa bernafas. Bumi sebagai alas, hujan yang tak henti-hentinya turun dengan deras, dan masih banyak hal lagi yang lain untuk kita perjelas.

Tema menyangkut eksistensi ayat Al-Qur’an dan Hadist yang menyinggung fenomena kealaman, telah menarik perhatian ulama klasik dan kontemporer. Selain ada kesamaan, terdapat pula perbedaan antara kedua macam ulama ini terhadap ayat-ayat kealaman, Dan hal ini dipengaruhi oleh konteks filosofis dan historis modernitas.

Ada sebuah Jurnal yang ditulis oleh Ahmad Atabik yang menjelaskan konsep penciptaan alam. Ini merupakan sebuah teori sekaligus studi komparatif normatif antar agama-agama. Konsep penciptaan alam ini tentu mengandung banyak sekali pandangan antar satu sama lain. Dengan kapasitas otak yang melatar blekangi itu berbeda, maka sudah barang tentu hal ini menjadi polemik dengan berbagai paradigma yang digunakan, apalagi menyangkut perbedaan teologi antar agama berdasarkan kitab suci masing-masing.

Nah, di dalam islam, perlu kita garis bawahi bahwa Al-Qur’an merupakan sumber ajaran agama islam Sebab dari Al-Quranlah diambil segala pokok syariat dan dalil-dalil syar'i yang mencakup seluruh aspek hukum bagi manusia dalam menjalani hidup di dunia atau di akhirat. Hal ini sesuai dengan firman Allah Surat An Nisa ayat 105:

 

اِنَّآ اَنْزَلْنَآ اِلَيْكَ الْكِتٰبَ بِالْحَقِّ لِتَحْكُمَ بَيْنَ النَّاسِ بِمَآ اَرٰىكَ اللّٰهُ ۗوَلَا تَكُنْ لِّلْخَاۤىِٕنِيْنَ خَصِيْمًا

“Sungguh, Kami telah menurunkan Kitab (Al-Qur'an) kepadamu (Muhammad) membawa kebenaran, agar engkau mengadili antara manusia dengan apa yang telah diajarkan Allah kepadamu, dan janganlah engkau menjadi penentang (orang yang tidak bersalah), karena (membela) orang yang berkhianat”

Namun, jika kita lihat secara lebih mendalam, ketika Al-Qur’an membicarakan tantang alam semsesta, Al-Qur’an  tidak membahasnya secara detail. Disana hanya dibahas hanya secara mendasar. Karena memang. Al-Qur’an bukanlah kitab kosmologi atau buku-buku ilmu pengetahuan umumnya yang akan mendeskripsikan penciptaan alam semesta secara sistematis. Hal ini juga sangat berkaitan tentang kontroversi keberbedaan argumen dari pihak pro dan kotra di dalam adanya tafsir ilmi sendiri. Perbedaan paradigma yang melatar belakangi, menjadikan kajian tasir ilmi ini semakin seru untuk kita perbincangkan. Alasan di atas merupakan salah satu alasan dari pihak kontra (the rejectionits) termasuk Asy-Syatibi. Hal ini diungkapkan oleh Syaltut, kritikus yang paling getol menolak adanya tafsir ilmi ini dengan salah satu alasannya yaitu, “Al-Qur’an bukan merupakan kitab sains. Sains selalu dinasmis, berubah-ubah, dan tidak tentu. Oleh karena itu, penafsiran saintifik atas Al-Qur’an dapat mengarah kepada berbagai kesalahan.[1]

Tentang penciptaan alam, Al-Quran sedikit sekali bebicara tentang kejadian alam (kosmogoni). Mengenai metafisikan penciptaan, al-Quran hanya mengatakan bahwa alam semesta beserta segala sesuatu yang hendak diciptakan Allah didalamnya tercipta sekedar dengan firman-Nya; “jadilah!” (2:117; 3:47,59; 6;73; 16:40; 19:35; 36:82; 40:68).[2]

Informasi yang kita dapat dari Al-Qur’an tentang penciptaan alam itu terungkap dengan berbagai kata yang digunakan dalam bentuk kata pengungkapan penciptaan alam. Diantara kata tersebut adalah bad’, ja’l, kholq. Dari sana, kita tidak ditemukan pada redaksinya penjelasan yang tegas, apakah alam semesta diciptakan dari materi yang sudah ada atau dari ketiadaan? Jadi ketiga bentuk kata tersebut hanya menjelaskan bahwa Allah pencipta alam semesta tanpa menyebut dari ada dan tiadanya.[3]

Sementara Ibnu Jarir al-Thobari menyinggung bahwa periodesasi atau tahapan penciptaan alam dapat disimak dari hadits Nabi ketika menjawab pertanyaan orang-orang Yahudi yang mendatangi Rasul saw. dan menanyakan perihal penciptaan langit dan bumi. Maka Rasul menjawab bahwa “Allah menciptakan bumi pada hari ahad dan senin, lalu menciptakan gunung-gunung pada hari selasa, lalu di hari rabu allah menciptkan pepohonan, air dan infastuktur bumi, bangunan dan perusakan, pada hari kamis Allah menciptakan langit. Lalu pada hari jum’at Allah menciptakan bintang-bintang, matahari dan malaikat, hingga tersisa tiga masa (sa’at) dari zaman itu, pada masa pertama (al-sâ’ah al-ûla) dari tiga masa tersebut adalah penciptaan ketentuan-ketentuan hidup dan mati, kedua (al-sâ’ah al-tsâniyah) memberikan suatu cobaan terhadap segala sesuatu yang bermanfaat bagi manusia, ketiga (al-sâ’ah al-tsâlitsah) menciptakan adam dan menempatkannya di surga dan memerintahkan pada iblis untuk bersujud padanya dan mengeluarkan iblis dari surga”. Kemudian orang-orang Yahudi tadi bertanya tentang apa yang dikerjakan Allah selanjutnya, Muhammad menjawab “kemudian Allah bersemanyam dalam arsy”, lantas mereka berkata ‘kamu benar seandaikan kamu sempurnakan lagi (dari cerita)’, mereka menjawab, kemudian (Allah) beristirahat. Dengan ucapan tadi Nabi amat marah, maka turunlah ayat “Dan kami telah menciptakan langit dan bumi dan diantara keduanya selama enam masa tanpa kecapaian. Maka bersabarlah (wahai Muhammad) atas ucapan mereka….” Surat Qof ayat 38-39.[4]

Kemudian proses selanjutnya adalah “pembentangan” alam semesta. Dapat bisa kita bilang, bahwa ruang alam (al-sama’) dan materi (al-ardl) sebelumnya dipisahkan Allah adalah sesuatu yang padu. Jadi alam semesta ketika itu merupakan satu kumpulan. Lalu, alam semesta mengalami proses transisi fase membentuk dukhon. Hal ini terungkap dari pernyataan Surat Fushshilat ayat 11 yang artinya: “kemudian Allah menuju penciptaan ruang alam (alsama’), yang ketika itu penuh embunan (al-dukhon).” Hal ini disebabkan, agar tidak terjadi kekeliruan dalam menangkap maksud kata ‘dukhon’ yang dihubungkan dengan proses penciptaan alam semesta, maka seharusnya kata ini dipahami degan hasil temuan sains yang telah terandalkan kebenarannya secara empiris. Hasil temuan ilmuan mengenai hal ini adalah bahwa suatu ketika dalam penciptaan terjadinya ekspansi yang sangat cepat sehingga timbul “kondensasi” dimana energi berubah menjadi materi. Kata “al-dukhan (embunan)” bukanlah menunjukkan materi asal ruang alam, akan tetapi ia menjelaskan tentang bentuk alam semesta ketika berlangsungnya fase awal penciptaannya.[5]

Dalam al-Quran banyak ayat yang secara eksplisit menyebutkan ruang alam (al-sama’) berjumlah tujuh. Sedangkan al-ardl sebagaimana ruang as sama’ secara implisit disebutkan juga jumlahnya tujuh. Kata ruang al sama’ dalam Al-Qur’an ada yang datang dengan konteks mufrad dan ada pula yang datang dalam bentuk jama’ . Sedangkan kata bumi dalam Al-Qur’an hanya disebutkan dalam bentuk mufrad saja dan tidak pernah muncul dalam konteks jama’. Dalam hal ini Hanafi Ahmad dalam kitabnya, al-tafsir al-ilmi ayat al-kauniyat, menerangkan bahwa hal ini dimaksudkan agar manusia tidak tercengang dan tidak menuntut kepada Rasulullah untuk menunjukkan bumi yang lain. Sedangkan penyebutan al ardh secara implisit berjumlah tujuh, hal ini bukan ditujukan kepada manusia awam, melainkan khusus buat para pakar dan kaum intelektual yang akan dapat mengetahui setelah melakukan penelitian dan penganalisaan. Lain halnya dengan ruang as sama’ berapapun disebutkan jumlahnya, maka manusia tidak akan tercengang dan tidak akan mempersoalkan, karena mereka yang kebanyakannya sederhana dalam berpikir tidak mengerti tentang, dan tidak hidup di al sama.
Adapun proses penciptaan alam selanjutnya
, yaitu Allah melengkapinya dengan menciptakan hukum-hukum tertentu, yang disebut dengan sunatullah. Hal ini dipahami dari percakapan simbolis antara Allah disatu pihak dan ruang alam dan materi dipihak lain.

Penjelasan di atas adalah merupakan proses singkat tentang pkonsep penciptaan islam. Namun titik poin yang bisa diambil adalah ternyata (menurut saya), tafsir ilmi merupakan sebuah teori yang sangat komprehensif dan tidak bisa langsung kita tolak dengan sepintas. Banyak hal yg bisa kita pelajari dari komparasi sains saat ini yang sangat relevan dengan Al-Qur’an. Jadi, saya tidak mengikuti kritikus Syaltut yang menolak teori ini secara mentah-mentah. Tentu, sebagai mahasiswa, kita harus memiliki keberpihakan terhadap perbedaan dengan memiliki alasan yang kuat sebagai pondasi. Sekian, terima kasih.

 

Setiawan Al-Fadly Putra Imam

Mahasiswa Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta



[1] Bustami Mohamed Khir, “The Qur’an and Science: the Debate on the Validity of Scientific Interpretation” dalam Journal of Qur’anic Studies, h. 27.

[2] Lihat Fazlur Rohman, Tema Pokok al-Quran, hal 95.

[3] Ibid, hlm. 135

[4] Ibn Jarir al-Thabary, Tarikh al-Thabari, Maktabar al-Tarikh wa al-Hadlarah, hlm. 20 juz I.

[5] Sirajuddin Zar, hlm. 137.

Minggu, 27 Juni 2021

Menggumam Kepada Waktu


Welcome to Sukorejo.” Apa kalian sudah melihat video dokumenter ini? Pasti sudahlah ya. Video ini menggambarkan suasana BAJA (Balik Jama'ah) yang sempat viral di media sosial beberapa saat yang lalu. Suasana pondok sudah terngiang-ngiang di benak santri ketika kata “balik” bertengger di pelupuk mata. Kalau hati jangan ditanya lagi, antara ada sesuatu yang tidak bisa diungkapkan dengan kata serta rasa yang tak mungkin terejawantahkan melalui sikap. Tapi gapura kebanggaan pondok pesantren Salafiyah Syafi'iyah sudah siap menyambut para santri. Jika kemarin-kemarinnya kita hanya menonton videonya, sekarang hal itu sudah bertransformasi menjadi realita kehidupan. Pijakan kaki pertama sudah dilalui di bumi seribu berkah yang akan menghadirkan sejuta kisah di dalamnya.

Kondisi kehidupan tahun ini tidak jauh berbeda dengan tahun kemarin. Masih dalam momen pandemi covid-19. Meski demikian santri sangat antusias untuk kembali ke pondok tepat waktu. “Mondhuk Entar Ngabdhih Ben Ngajih”. Sebuah pesan dari murobbi yang harus kita jadikan niat utama ketika di pondok. Masa lalu yang selalu menghantui para santri ketika berada di rumah terkadang mengajak nafsu untuk bersedih, dan sering kali hal itu mengundang rasa tidak kerasan. Entah apa yang membuat mereka tidak kerasan. Mungkinkah mereka rindu dengan chattingan atau rindu dengan orang tua. Atau rindu dengan si dia, tapi dia siapa?

Oleh karena itu, jangan sampai niat awal kita balik ke pondok menyimpang hanya karena satu ujian itu. Sadarlah, pada saatnya, kita akan memetik buah dari perjuangan selama berada di pondok. Jangan sampai lantaran tidak kerasan, malah mencari cara untuk kabur dari pondok. Astaghfirullah…. Adegan tidak untuk ditiru!

“Perjuangan itu butuh pengorbanan. Kalau tidak mau berkorban, jangan berjuang!”

Kurang lebih seperti itu kalam K.H.R. As'ad Syamsul Arifin yang harus kita tanamkan dengan mental kokoh. Seperti yang dicontohkan murabbi kita dalam mempertahankan keutuhan negara dari berbagai agresi militer kolonial. Tugas kita saat ini ialah meneladani perjuangan beliau, karena kitalah yang akan melanjutkan itu semua. Salah satunya ialah ikut serta dalam menjaga nama baik pondok pesantren Salafiyah Syafi'iyah dengan berakhlakul karimah pada siapa saja serta tidak melakukan hal-hal yang merugikan diri sendiri dan orang lain.

Sebagai santri, kita tidak boleh minder meski berpenampilan sederhana saat bertemu dengan teman sebaya yang sekolah atau kuliah di luar dan memiliki penampilan modis (fashionable). Namun kemampuan berpikir kita harus mampu bersaing atau bahkan melebihi mereka yang memiliki kebebasan penuh. Kalian juga layak bahagia kawan, tapi tidak untuk sekarang. Hal yang harus kita jalani dengan sungguh-sungguh saat ini adalah mengabdi dengan tulus dan ikhlas, serta mengaji dengan giat dan istikamah. Jangan sampai tugas mulia kita di pondok hanya digunakan untuk bersenang-senang, terlebih lagi melanggar. Ingat! Kalian sedang mengemban amanah penting yang tidak semua orang bisa menjalaninya. Mereka enggak bakal kuat, biar kita saja!

Eh, maaf hampir lupa, dear sahabat-sahabatku santri baru yang datang dengan semangat membara, tapi terkadang rasa tidak kerasan membabi buta, kami ucapkan selamat datang di pondok pesantren Salafiyah Syafi'iyah. Baik yang dari desa, kota, juga yang berasal dari negara tetangga. Hari ini, kalian pasti merasakan sesuatu yang berbeda, hidup jauh dari orang tua, dan rela meninggalkan berbagai kenyamanan yang ada di rumah. Tapi kalian tidak sendiri kawan, kita semua sama, ingat pesan ayah dan bunda sebelum mengantarmu mondok dengan riuh tangis bahagia. Bersyukurlah karena kita ditakdirkan menjadi santri di tengah perkembangan zaman yang makin edan, di mana generasi mudanya sudah makin kolot moral dan akhlaknya karena digerus arus globalisasi.

Oleh karena itu kita dimondokkan dengan harapan bisa menjadi insan yang lebih baik dengan tempaan keilmuan dan budi pekerti. Sungguh beruntung bukan? Kesimpulannya, kalian tidak perlu khawatir akan itu semua, yang paling penting, kalian harus jalani kehidupan dengan baik. Tidak perlu mendengarkan perkataan orang yang tidak suka dengan kalian. Selama itu benar, teruskan saja. Selamat kembali ke pondok dan selamat datang untuk santri baru. Kobarkan semangat kalian demi tercapainya cita-cita yang sehaluan dengan agama dan bangsa.

 

Rahul N Dul, redaktur pelaksana buletin Al-khidmah

Selamat Datang Para Pejuang


"Yang betah ya di pondok. Jaga waktu makannya, jangan sampai telat.” “Iya bund....”

Begitulah kiranya akhir dari sebuah percakapan dua insan yang hendak saling berjauhan. Saliman, pelukan, bahkan tak jarang pula sebuah kecupan seakan sudah menjadi ritual yang wajib dilakukan. Setelah semua ritual selesai, waktu yang tidak ditunggu-tunggu pun akhirnya tiba. Ya, sebuah perpisahan. Semua perpisahan tidak ada yang menyenangkan dan pasti menyakitkan, juga memberikan banyak kerinduan. Ia tak memandang kalangan usia, entah itu muda, remaja maupun tua. Tentu semua pernah merasakannya, hanya objeknya saja yang berbeda-beda. Entah itu merindukan keluarga, saudara ataupun si dia. Eh... kok malah merindukan dia, padahal, kan dia sudah sama yang lainnya. Canda lainnya. Haha

Berbicara tentang rindu, sudah pasti tertuju pada santri baru yang tiba di pesantren beberapa minggu lalu. Tidak hanya bagi santri baru, santri lama pun juga banyak yang rindu terhadap ayah dan ibu. Meskipun rindu adalah hal yang lumrah, namun terlena dengan kerinduan merupakan sesuatu yang salah. Bukannya kerasan di pondok, ia malah melamun memikirkan kampung halaman saja. Ia yang seharusnya sudah memiliki banyak teman kini masih saja suka sendirian dan tidak suka keramaian.

Melihat kasus di atas, seharusnya kita bisa naik kelas. Dari yang sebelumnya hanya rebahan sambil berangan-angan, menjadi semangat belajar demi masa depan. Untuk sementara, lupakan dulu semua kenikmatan serta hal-hal yang berbau kesenangan selama di rumah dan mulailah beradaptasi dengan lingkungan sekolah dan madrasah. Oh iya, hampir lupa. Kami ucapkan welcome everybody! Selamat datang para pejuang yang siap sukses di masa mendatang.

Di awal tahun ajaran baru, kerap terlihat sajian unik dan tingkah menarik. Ada tiga hal menarik yang kerap kali disuguhkan oleh santri baru yang menggelitik, diantaranya. Pertama, menjadikan kunci lemari sebagai kalung, entah karena takut hilang atau malas memegang. Yang pasti banyak sekali santri baru yang mengikuti tren ini sejak dahulu meski tidak diketahui siapa pencetusnya.

Kedua, belum tau cara berwudu, peristiwa ini biasanya terjadi di jeding raksasa. Santri baru yang belum mengerti masalah bersesuci, membuat gelak tawa tersendiri bagi santri lama. Selain karena cara berwudunya yang salah, para santri lama juga merasa sedang bernostalgia dengan masa lalu saat masih menjadi santri baru.

Ketiga, istikamah ke wartel. Nah, ini nih yang bikin santri lama jengkel bin kesel. Bagaimana tidak, setiap kali datang untuk menelepon, selalu saja penuh dengan santri baru yang sedang melepas kerinduan. Tak hanya sehari dua hari, mungkin setiap hari santri baru silih berganti menjajah wartel sampai membuat antrian panjang seperti pembagian sembako. Beda usia, beda juga tingkahnya.

Ada tiga fakta yang sering terjadi bagi santri lama yang sudah puas rasanya menikmati liburan sejenak bersama keluarga. Pertama, tidak kerasan. Aneh tapi nyata. Itulah kalimat yang pas untuk santri lama yang masih saja tidak kerasan, mungkin karena liburan yang kurang lama membuat raganya saja yang ikut BAJA (balik jamaah), sementara pikirannya masih jalan-jalan entah kemana.

Kedua, sok jadi bos. Baru saja satu-dua tahun mondok lagaknya sudah seperti bos. Santri baru pun dijadikan sebagai korban. Suruh sana dan suruh sini seenak jidat, tanpa mempedulikan korban yang lagi rebahan.

Ketiga, bernostalgia bersama. Hal-hal yang sedang ngetren selama liburan dijadikan topik utama. Mengghibah ria pun rasanya tidak ada habis-habisnya. Liburan ramadan yang dirasakan selama lima puluh hari menjadi perbincangan di kamar, musala, bahkan di jalan. Satu hari di rumah, ceritanya bisa satu bulan di pesantren. Ceritanya pun bermacam-macam, mulai dari gagal liburan ke Mataram, sampai yang paling menyakitkan, seperti halnya cuma dianggap temen padahal udah nyaman.

Kalian masih ingat tidak, beberapa hari lalu K.H.R Ach Azaim Ibrahimy pernah berdawuh bahwa santri baru atau yang disingkat SABAR itu memiliki makna tersendiri, yakni sabar untuk berpisah, sabar untuk menyesuaikan diri di pondok dan yang terakhir sabar untuk belajar. Lain lagi dengan santri lama yang memiliki singkatan SALAM, yang dalam bahasa Arab berarti selamat. Ya, selamat dari semua maksiat.

Selain itu santri juga dituntut untuk memperbaiki niat, yaitu niat mengabdi dan mengaji. Karena niat merupakan hal terpenting dalam melakukan suatu perbuatan. Walaupun perpisahan dengan keluarga sering membuat kita resah tapi jangan sampai mengubah niat kita untuk senantiasa berkhidmah. Dulu televisi adalah teman sehari-hari. Akan tetapi setelah menjadi santri, Alquran dan kitab kuning lah yang menjadi konsumsi saat ini. Berterima kasihlah kalian kepada kedua orang tua karena telah memondokkan di salah satu pesantren impian. Karena telah kita ketahui bersama kalau dunia luar sudah semakin liar. Sedikit saja terbawa arus pasti akan terhanyut dan tenggelam di dasar kegelapan.

Meskipun terasa berat untuk meninggalkan kerabat sebab rindu yang yang tak kunjung bertemu, pasti berdamage sekali bagi santri baru. Oleh sebab itu mewakili dari berbagai penjuru negeri baik itu putra maupun putri, saya ucapkan, “Sakit sekali eperibadehh!!!”


Oleh Randi Abdel Azizi, redaktur pelaksana buletin Al-khidmah 

Minggu, 16 Mei 2021

Motivasi Untuk Para Korban Bucinisasi

Masa remaja pasti kenal betul dengan sesuatu yang biasa kita sebut dengan cinta. Entah itu cinta kepada Allah, baginda rasulullah, ataupun makhluk Tuhan yang bernama insanullah. Namun pada kesempatan ini, kita akan membahas mengenai cinta sesama makhluk-Nya, antara kaum adam dan hawa.

99% kaum muda pastti pernah merasakan gejolak cinta. Hanya cara mereka mengekspresikannya saja yang berbeda-beda. Ada yang mengungkapkannya secara empat mata, hingga ada pula yang memendam rasa karena tak berani mengungkapkannya. Kalian tim yang mana, nih?

Sebut saja teman saya yang tengah dimabuk cinta. Dia adalah seorang stalker andal yang rela menghabiskan kuota hanya demi melihat foto orang yang dia suka. Namun dia tidak langsung menyatakanmya, bukan karena tak mampu mengungkapkan rasa, akan tetapi karena beda agama.

Begitulah cinta, kalau sudah nyaman dan suka, agama pun tidak dipandangnya. Lain halnya dengan saudara saya yang tidak perlu disebutkan namanya. Dia suka kepada satu wanita, yang ia temukan di sosial media seperti Facebook dan WA. Setelah berteman cukup lama, dia tidak menyadari bahwa wanita yang ia suka, ternyata tidak memiliki rasa yang sama. Sehingga saat ia telah mengetahuinya, dia pun mulai gegana (gelisah galau merana) dan meratapi nasibnya.

Seperti itulah sedikit cerita dari teman-teman dan saudara. Kalau cerita saya tidak perlu ditanya, kalian semua pasti tau jawabannya. Hehe~

"Sudahi galaumu, mari mencari solusi bersamaku". Mungkin itu adalah jargon yang tepat untuk kalian. Agar bisa melakukan perubahan yang signifikan, meskipun perjuangan kalian telah disia-siakan. Sebab banyak rahasia Tuhan yang tidak kita ketahui, yang dapat memberikan suatu kebaikan.

Ketika perjuangan kalian diabaikan. Itu seharusnya kalian jadikan sebagai motivasi, untuk berbenah diri bukan malah frustasi karena sakit hati. Guruku pernah berkata bahwa, "Tidak perlu mencari, cukup memantaskan diri". Dari perkataan beliau, saya pun mulai menjadikan suatu patokan, apabila jodoh itu tidak perlu dicari, cukup memantaskan diri dengan belajar sehingga meraih banyak prestasi.

Perjuangan yang disia-siakan memanglah sangat menyakitkan, namun kita harus sadar, bahwa kita tetap harus melihat ke depan. Jangan hanya karena masalah percintaan, membuat kalian lupa dengan segala impian dan harapan. Cukup dengan prestasi yang kita dapatkan, mereka pasti akan menyesal karena telah menyia-nyiakan.

Belajar lebih dulu yang rajin dan tekun, sebab jodoh itu seperti cermin. Sesuai dengan yang diterangkan dalam surah An-nur ayat 26, yang artinya, "Wanita-wanita yang tidak baik untuk laki-laki yang tidak baik, dan laki-laki yang tidak baik adalah untuk wanita yang tidak baik pula, wanita yang baik untuk lelaki yang baik, dan lelaki yang baik untuk wanita yang baik".

Dari ayat di atas sudah pasti kita akan berjodoh dengan seseorang yang sesuai dengan diri kita, sebab jodoh itu cerminan hidup kita. Jika memang orang tersebut adalah jodoh kita, tentu dia akan kembali dan memilih bersama hingga nanti. Oleh karena itu, pantaskanlah diri dan jangan sibuk mencari, karena jodoh sudah ada yang mengurusi.


Randi Abdel Azizi, reporter buletin Al-khidmah 

Gambar oleh Dimitris Christou dari Pixabay