Minggu, 27 Juni 2021

Selamat Datang Para Pejuang


"Yang betah ya di pondok. Jaga waktu makannya, jangan sampai telat.” “Iya bund....”

Begitulah kiranya akhir dari sebuah percakapan dua insan yang hendak saling berjauhan. Saliman, pelukan, bahkan tak jarang pula sebuah kecupan seakan sudah menjadi ritual yang wajib dilakukan. Setelah semua ritual selesai, waktu yang tidak ditunggu-tunggu pun akhirnya tiba. Ya, sebuah perpisahan. Semua perpisahan tidak ada yang menyenangkan dan pasti menyakitkan, juga memberikan banyak kerinduan. Ia tak memandang kalangan usia, entah itu muda, remaja maupun tua. Tentu semua pernah merasakannya, hanya objeknya saja yang berbeda-beda. Entah itu merindukan keluarga, saudara ataupun si dia. Eh... kok malah merindukan dia, padahal, kan dia sudah sama yang lainnya. Canda lainnya. Haha

Berbicara tentang rindu, sudah pasti tertuju pada santri baru yang tiba di pesantren beberapa minggu lalu. Tidak hanya bagi santri baru, santri lama pun juga banyak yang rindu terhadap ayah dan ibu. Meskipun rindu adalah hal yang lumrah, namun terlena dengan kerinduan merupakan sesuatu yang salah. Bukannya kerasan di pondok, ia malah melamun memikirkan kampung halaman saja. Ia yang seharusnya sudah memiliki banyak teman kini masih saja suka sendirian dan tidak suka keramaian.

Melihat kasus di atas, seharusnya kita bisa naik kelas. Dari yang sebelumnya hanya rebahan sambil berangan-angan, menjadi semangat belajar demi masa depan. Untuk sementara, lupakan dulu semua kenikmatan serta hal-hal yang berbau kesenangan selama di rumah dan mulailah beradaptasi dengan lingkungan sekolah dan madrasah. Oh iya, hampir lupa. Kami ucapkan welcome everybody! Selamat datang para pejuang yang siap sukses di masa mendatang.

Di awal tahun ajaran baru, kerap terlihat sajian unik dan tingkah menarik. Ada tiga hal menarik yang kerap kali disuguhkan oleh santri baru yang menggelitik, diantaranya. Pertama, menjadikan kunci lemari sebagai kalung, entah karena takut hilang atau malas memegang. Yang pasti banyak sekali santri baru yang mengikuti tren ini sejak dahulu meski tidak diketahui siapa pencetusnya.

Kedua, belum tau cara berwudu, peristiwa ini biasanya terjadi di jeding raksasa. Santri baru yang belum mengerti masalah bersesuci, membuat gelak tawa tersendiri bagi santri lama. Selain karena cara berwudunya yang salah, para santri lama juga merasa sedang bernostalgia dengan masa lalu saat masih menjadi santri baru.

Ketiga, istikamah ke wartel. Nah, ini nih yang bikin santri lama jengkel bin kesel. Bagaimana tidak, setiap kali datang untuk menelepon, selalu saja penuh dengan santri baru yang sedang melepas kerinduan. Tak hanya sehari dua hari, mungkin setiap hari santri baru silih berganti menjajah wartel sampai membuat antrian panjang seperti pembagian sembako. Beda usia, beda juga tingkahnya.

Ada tiga fakta yang sering terjadi bagi santri lama yang sudah puas rasanya menikmati liburan sejenak bersama keluarga. Pertama, tidak kerasan. Aneh tapi nyata. Itulah kalimat yang pas untuk santri lama yang masih saja tidak kerasan, mungkin karena liburan yang kurang lama membuat raganya saja yang ikut BAJA (balik jamaah), sementara pikirannya masih jalan-jalan entah kemana.

Kedua, sok jadi bos. Baru saja satu-dua tahun mondok lagaknya sudah seperti bos. Santri baru pun dijadikan sebagai korban. Suruh sana dan suruh sini seenak jidat, tanpa mempedulikan korban yang lagi rebahan.

Ketiga, bernostalgia bersama. Hal-hal yang sedang ngetren selama liburan dijadikan topik utama. Mengghibah ria pun rasanya tidak ada habis-habisnya. Liburan ramadan yang dirasakan selama lima puluh hari menjadi perbincangan di kamar, musala, bahkan di jalan. Satu hari di rumah, ceritanya bisa satu bulan di pesantren. Ceritanya pun bermacam-macam, mulai dari gagal liburan ke Mataram, sampai yang paling menyakitkan, seperti halnya cuma dianggap temen padahal udah nyaman.

Kalian masih ingat tidak, beberapa hari lalu K.H.R Ach Azaim Ibrahimy pernah berdawuh bahwa santri baru atau yang disingkat SABAR itu memiliki makna tersendiri, yakni sabar untuk berpisah, sabar untuk menyesuaikan diri di pondok dan yang terakhir sabar untuk belajar. Lain lagi dengan santri lama yang memiliki singkatan SALAM, yang dalam bahasa Arab berarti selamat. Ya, selamat dari semua maksiat.

Selain itu santri juga dituntut untuk memperbaiki niat, yaitu niat mengabdi dan mengaji. Karena niat merupakan hal terpenting dalam melakukan suatu perbuatan. Walaupun perpisahan dengan keluarga sering membuat kita resah tapi jangan sampai mengubah niat kita untuk senantiasa berkhidmah. Dulu televisi adalah teman sehari-hari. Akan tetapi setelah menjadi santri, Alquran dan kitab kuning lah yang menjadi konsumsi saat ini. Berterima kasihlah kalian kepada kedua orang tua karena telah memondokkan di salah satu pesantren impian. Karena telah kita ketahui bersama kalau dunia luar sudah semakin liar. Sedikit saja terbawa arus pasti akan terhanyut dan tenggelam di dasar kegelapan.

Meskipun terasa berat untuk meninggalkan kerabat sebab rindu yang yang tak kunjung bertemu, pasti berdamage sekali bagi santri baru. Oleh sebab itu mewakili dari berbagai penjuru negeri baik itu putra maupun putri, saya ucapkan, “Sakit sekali eperibadehh!!!”


Oleh Randi Abdel Azizi, redaktur pelaksana buletin Al-khidmah 

0 Komentar: