Selasa, 31 Mei 2022

Konsep Penciptaan Alam


Dunia itu begitu luas. Terdapat banyak sekali parlemen yang harus kita bahas dengan tuntas. Dengan pengetahuan kita yang sedikit terbatas, maka tentu otak kita harus kita asah untuk menjadi cerdas. Kalau kita renungkan dengan pikiran yang sedikit menguras, ada dua bagian di dunia ini yang tak mungkin bisa kita lepas. Yaitu Sang Kholiq yang senantiasa singgah di atas, juga ada makhluq yang dicipta dengan keadaan masing-masing dengan bentuk dan tatanan yang pas. Ma Siwallah merupakan definisi sederhana dari kompleksnya makna kedua yang begitu pantas. Di dalamnya masih bisa dipilah dari yang mati diam tak bergerak dan yang hidup bisa bernafas. Bumi sebagai alas, hujan yang tak henti-hentinya turun dengan deras, dan masih banyak hal lagi yang lain untuk kita perjelas.

Tema menyangkut eksistensi ayat Al-Qur’an dan Hadist yang menyinggung fenomena kealaman, telah menarik perhatian ulama klasik dan kontemporer. Selain ada kesamaan, terdapat pula perbedaan antara kedua macam ulama ini terhadap ayat-ayat kealaman, Dan hal ini dipengaruhi oleh konteks filosofis dan historis modernitas.

Ada sebuah Jurnal yang ditulis oleh Ahmad Atabik yang menjelaskan konsep penciptaan alam. Ini merupakan sebuah teori sekaligus studi komparatif normatif antar agama-agama. Konsep penciptaan alam ini tentu mengandung banyak sekali pandangan antar satu sama lain. Dengan kapasitas otak yang melatar blekangi itu berbeda, maka sudah barang tentu hal ini menjadi polemik dengan berbagai paradigma yang digunakan, apalagi menyangkut perbedaan teologi antar agama berdasarkan kitab suci masing-masing.

Nah, di dalam islam, perlu kita garis bawahi bahwa Al-Qur’an merupakan sumber ajaran agama islam Sebab dari Al-Quranlah diambil segala pokok syariat dan dalil-dalil syar'i yang mencakup seluruh aspek hukum bagi manusia dalam menjalani hidup di dunia atau di akhirat. Hal ini sesuai dengan firman Allah Surat An Nisa ayat 105:

 

اِنَّآ اَنْزَلْنَآ اِلَيْكَ الْكِتٰبَ بِالْحَقِّ لِتَحْكُمَ بَيْنَ النَّاسِ بِمَآ اَرٰىكَ اللّٰهُ ۗوَلَا تَكُنْ لِّلْخَاۤىِٕنِيْنَ خَصِيْمًا

“Sungguh, Kami telah menurunkan Kitab (Al-Qur'an) kepadamu (Muhammad) membawa kebenaran, agar engkau mengadili antara manusia dengan apa yang telah diajarkan Allah kepadamu, dan janganlah engkau menjadi penentang (orang yang tidak bersalah), karena (membela) orang yang berkhianat”

Namun, jika kita lihat secara lebih mendalam, ketika Al-Qur’an membicarakan tantang alam semsesta, Al-Qur’an  tidak membahasnya secara detail. Disana hanya dibahas hanya secara mendasar. Karena memang. Al-Qur’an bukanlah kitab kosmologi atau buku-buku ilmu pengetahuan umumnya yang akan mendeskripsikan penciptaan alam semesta secara sistematis. Hal ini juga sangat berkaitan tentang kontroversi keberbedaan argumen dari pihak pro dan kotra di dalam adanya tafsir ilmi sendiri. Perbedaan paradigma yang melatar belakangi, menjadikan kajian tasir ilmi ini semakin seru untuk kita perbincangkan. Alasan di atas merupakan salah satu alasan dari pihak kontra (the rejectionits) termasuk Asy-Syatibi. Hal ini diungkapkan oleh Syaltut, kritikus yang paling getol menolak adanya tafsir ilmi ini dengan salah satu alasannya yaitu, “Al-Qur’an bukan merupakan kitab sains. Sains selalu dinasmis, berubah-ubah, dan tidak tentu. Oleh karena itu, penafsiran saintifik atas Al-Qur’an dapat mengarah kepada berbagai kesalahan.[1]

Tentang penciptaan alam, Al-Quran sedikit sekali bebicara tentang kejadian alam (kosmogoni). Mengenai metafisikan penciptaan, al-Quran hanya mengatakan bahwa alam semesta beserta segala sesuatu yang hendak diciptakan Allah didalamnya tercipta sekedar dengan firman-Nya; “jadilah!” (2:117; 3:47,59; 6;73; 16:40; 19:35; 36:82; 40:68).[2]

Informasi yang kita dapat dari Al-Qur’an tentang penciptaan alam itu terungkap dengan berbagai kata yang digunakan dalam bentuk kata pengungkapan penciptaan alam. Diantara kata tersebut adalah bad’, ja’l, kholq. Dari sana, kita tidak ditemukan pada redaksinya penjelasan yang tegas, apakah alam semesta diciptakan dari materi yang sudah ada atau dari ketiadaan? Jadi ketiga bentuk kata tersebut hanya menjelaskan bahwa Allah pencipta alam semesta tanpa menyebut dari ada dan tiadanya.[3]

Sementara Ibnu Jarir al-Thobari menyinggung bahwa periodesasi atau tahapan penciptaan alam dapat disimak dari hadits Nabi ketika menjawab pertanyaan orang-orang Yahudi yang mendatangi Rasul saw. dan menanyakan perihal penciptaan langit dan bumi. Maka Rasul menjawab bahwa “Allah menciptakan bumi pada hari ahad dan senin, lalu menciptakan gunung-gunung pada hari selasa, lalu di hari rabu allah menciptkan pepohonan, air dan infastuktur bumi, bangunan dan perusakan, pada hari kamis Allah menciptakan langit. Lalu pada hari jum’at Allah menciptakan bintang-bintang, matahari dan malaikat, hingga tersisa tiga masa (sa’at) dari zaman itu, pada masa pertama (al-sâ’ah al-ûla) dari tiga masa tersebut adalah penciptaan ketentuan-ketentuan hidup dan mati, kedua (al-sâ’ah al-tsâniyah) memberikan suatu cobaan terhadap segala sesuatu yang bermanfaat bagi manusia, ketiga (al-sâ’ah al-tsâlitsah) menciptakan adam dan menempatkannya di surga dan memerintahkan pada iblis untuk bersujud padanya dan mengeluarkan iblis dari surga”. Kemudian orang-orang Yahudi tadi bertanya tentang apa yang dikerjakan Allah selanjutnya, Muhammad menjawab “kemudian Allah bersemanyam dalam arsy”, lantas mereka berkata ‘kamu benar seandaikan kamu sempurnakan lagi (dari cerita)’, mereka menjawab, kemudian (Allah) beristirahat. Dengan ucapan tadi Nabi amat marah, maka turunlah ayat “Dan kami telah menciptakan langit dan bumi dan diantara keduanya selama enam masa tanpa kecapaian. Maka bersabarlah (wahai Muhammad) atas ucapan mereka….” Surat Qof ayat 38-39.[4]

Kemudian proses selanjutnya adalah “pembentangan” alam semesta. Dapat bisa kita bilang, bahwa ruang alam (al-sama’) dan materi (al-ardl) sebelumnya dipisahkan Allah adalah sesuatu yang padu. Jadi alam semesta ketika itu merupakan satu kumpulan. Lalu, alam semesta mengalami proses transisi fase membentuk dukhon. Hal ini terungkap dari pernyataan Surat Fushshilat ayat 11 yang artinya: “kemudian Allah menuju penciptaan ruang alam (alsama’), yang ketika itu penuh embunan (al-dukhon).” Hal ini disebabkan, agar tidak terjadi kekeliruan dalam menangkap maksud kata ‘dukhon’ yang dihubungkan dengan proses penciptaan alam semesta, maka seharusnya kata ini dipahami degan hasil temuan sains yang telah terandalkan kebenarannya secara empiris. Hasil temuan ilmuan mengenai hal ini adalah bahwa suatu ketika dalam penciptaan terjadinya ekspansi yang sangat cepat sehingga timbul “kondensasi” dimana energi berubah menjadi materi. Kata “al-dukhan (embunan)” bukanlah menunjukkan materi asal ruang alam, akan tetapi ia menjelaskan tentang bentuk alam semesta ketika berlangsungnya fase awal penciptaannya.[5]

Dalam al-Quran banyak ayat yang secara eksplisit menyebutkan ruang alam (al-sama’) berjumlah tujuh. Sedangkan al-ardl sebagaimana ruang as sama’ secara implisit disebutkan juga jumlahnya tujuh. Kata ruang al sama’ dalam Al-Qur’an ada yang datang dengan konteks mufrad dan ada pula yang datang dalam bentuk jama’ . Sedangkan kata bumi dalam Al-Qur’an hanya disebutkan dalam bentuk mufrad saja dan tidak pernah muncul dalam konteks jama’. Dalam hal ini Hanafi Ahmad dalam kitabnya, al-tafsir al-ilmi ayat al-kauniyat, menerangkan bahwa hal ini dimaksudkan agar manusia tidak tercengang dan tidak menuntut kepada Rasulullah untuk menunjukkan bumi yang lain. Sedangkan penyebutan al ardh secara implisit berjumlah tujuh, hal ini bukan ditujukan kepada manusia awam, melainkan khusus buat para pakar dan kaum intelektual yang akan dapat mengetahui setelah melakukan penelitian dan penganalisaan. Lain halnya dengan ruang as sama’ berapapun disebutkan jumlahnya, maka manusia tidak akan tercengang dan tidak akan mempersoalkan, karena mereka yang kebanyakannya sederhana dalam berpikir tidak mengerti tentang, dan tidak hidup di al sama.
Adapun proses penciptaan alam selanjutnya
, yaitu Allah melengkapinya dengan menciptakan hukum-hukum tertentu, yang disebut dengan sunatullah. Hal ini dipahami dari percakapan simbolis antara Allah disatu pihak dan ruang alam dan materi dipihak lain.

Penjelasan di atas adalah merupakan proses singkat tentang pkonsep penciptaan islam. Namun titik poin yang bisa diambil adalah ternyata (menurut saya), tafsir ilmi merupakan sebuah teori yang sangat komprehensif dan tidak bisa langsung kita tolak dengan sepintas. Banyak hal yg bisa kita pelajari dari komparasi sains saat ini yang sangat relevan dengan Al-Qur’an. Jadi, saya tidak mengikuti kritikus Syaltut yang menolak teori ini secara mentah-mentah. Tentu, sebagai mahasiswa, kita harus memiliki keberpihakan terhadap perbedaan dengan memiliki alasan yang kuat sebagai pondasi. Sekian, terima kasih.

 

Setiawan Al-Fadly Putra Imam

Mahasiswa Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta



[1] Bustami Mohamed Khir, “The Qur’an and Science: the Debate on the Validity of Scientific Interpretation” dalam Journal of Qur’anic Studies, h. 27.

[2] Lihat Fazlur Rohman, Tema Pokok al-Quran, hal 95.

[3] Ibid, hlm. 135

[4] Ibn Jarir al-Thabary, Tarikh al-Thabari, Maktabar al-Tarikh wa al-Hadlarah, hlm. 20 juz I.

[5] Sirajuddin Zar, hlm. 137.

0 Komentar: