Dunia itu begitu luas.
Terdapat banyak sekali parlemen yang harus kita bahas dengan tuntas. Dengan
pengetahuan kita yang sedikit terbatas, maka tentu otak kita harus kita asah
untuk menjadi cerdas. Kalau kita renungkan dengan pikiran yang sedikit menguras,
ada dua bagian di dunia ini yang tak mungkin bisa kita lepas. Yaitu Sang Kholiq
yang senantiasa singgah di atas, juga ada makhluq yang dicipta
dengan keadaan masing-masing dengan bentuk dan tatanan yang pas. Ma Siwallah
merupakan definisi sederhana dari kompleksnya makna kedua yang begitu
pantas. Di dalamnya masih bisa dipilah dari yang mati diam tak bergerak dan
yang hidup bisa bernafas. Bumi sebagai alas, hujan yang tak henti-hentinya
turun dengan deras, dan masih banyak hal lagi yang lain untuk kita perjelas.
Tema menyangkut
eksistensi ayat Al-Qur’an dan Hadist yang menyinggung fenomena kealaman, telah
menarik perhatian ulama klasik dan kontemporer. Selain ada kesamaan, terdapat
pula perbedaan antara kedua macam ulama ini terhadap ayat-ayat kealaman, Dan
hal ini dipengaruhi oleh konteks filosofis dan historis modernitas.
Ada sebuah Jurnal yang
ditulis oleh Ahmad Atabik yang menjelaskan konsep penciptaan alam. Ini
merupakan sebuah teori sekaligus studi komparatif normatif antar agama-agama.
Konsep penciptaan alam ini tentu mengandung banyak sekali pandangan antar satu
sama lain. Dengan kapasitas otak yang melatar blekangi itu berbeda, maka sudah
barang tentu hal ini menjadi polemik dengan berbagai paradigma yang digunakan,
apalagi menyangkut perbedaan teologi antar agama berdasarkan kitab suci
masing-masing.
Nah, di dalam islam,
perlu kita garis bawahi bahwa Al-Qur’an merupakan sumber ajaran agama islam Sebab dari Al-Quranlah
diambil segala pokok syariat dan dalil-dalil syar'i yang mencakup seluruh aspek
hukum bagi manusia dalam menjalani hidup di dunia atau di akhirat. Hal ini
sesuai dengan firman Allah Surat An Nisa ayat 105:
اِنَّآ اَنْزَلْنَآ
اِلَيْكَ الْكِتٰبَ بِالْحَقِّ لِتَحْكُمَ بَيْنَ النَّاسِ بِمَآ اَرٰىكَ اللّٰهُ
ۗوَلَا تَكُنْ لِّلْخَاۤىِٕنِيْنَ خَصِيْمًا
“Sungguh, Kami telah menurunkan Kitab
(Al-Qur'an) kepadamu (Muhammad) membawa kebenaran, agar engkau mengadili antara
manusia dengan apa yang telah diajarkan Allah kepadamu, dan janganlah engkau
menjadi penentang (orang yang tidak bersalah), karena (membela) orang yang
berkhianat”
Namun, jika kita lihat secara lebih
mendalam, ketika Al-Qur’an membicarakan tantang alam semsesta, Al-Qur’an tidak membahasnya secara detail. Disana hanya
dibahas hanya secara mendasar. Karena memang. Al-Qur’an bukanlah kitab
kosmologi atau buku-buku ilmu pengetahuan umumnya yang akan mendeskripsikan
penciptaan alam semesta secara sistematis. Hal ini juga sangat berkaitan
tentang kontroversi keberbedaan argumen dari pihak pro dan kotra di dalam adanya
tafsir ilmi sendiri. Perbedaan paradigma yang melatar belakangi, menjadikan
kajian tasir ilmi ini semakin seru untuk kita perbincangkan. Alasan di atas
merupakan salah satu alasan dari pihak kontra (the rejectionits)
termasuk Asy-Syatibi. Hal ini diungkapkan oleh Syaltut, kritikus yang paling
getol menolak adanya tafsir ilmi ini dengan salah satu alasannya yaitu,
“Al-Qur’an bukan merupakan kitab sains. Sains selalu dinasmis, berubah-ubah,
dan tidak tentu. Oleh karena itu, penafsiran saintifik atas Al-Qur’an dapat
mengarah kepada berbagai kesalahan.[1]
Tentang penciptaan alam, Al-Quran
sedikit sekali bebicara tentang kejadian alam (kosmogoni). Mengenai metafisikan
penciptaan, al-Quran hanya mengatakan bahwa alam semesta beserta segala sesuatu
yang hendak diciptakan Allah didalamnya tercipta sekedar dengan firman-Nya;
“jadilah!” (2:117; 3:47,59; 6;73; 16:40; 19:35; 36:82; 40:68).[2]
Informasi yang kita dapat
dari Al-Qur’an tentang penciptaan alam itu terungkap dengan berbagai kata yang
digunakan dalam bentuk kata pengungkapan penciptaan alam. Diantara kata
tersebut adalah bad’, ja’l,
kholq. Dari sana, kita tidak ditemukan pada
redaksinya penjelasan yang tegas, apakah alam semesta diciptakan dari materi
yang sudah ada atau dari ketiadaan? Jadi ketiga bentuk kata tersebut hanya
menjelaskan bahwa Allah pencipta alam semesta tanpa menyebut dari ada dan
tiadanya.[3]
Sementara Ibnu
Jarir al-Thobari menyinggung bahwa periodesasi atau tahapan
penciptaan alam dapat disimak dari hadits Nabi ketika menjawab pertanyaan
orang-orang Yahudi yang mendatangi Rasul saw. dan menanyakan perihal penciptaan
langit dan bumi. Maka Rasul menjawab bahwa “Allah menciptakan bumi
pada hari ahad dan senin, lalu menciptakan gunung-gunung pada hari selasa, lalu
di hari rabu allah menciptkan pepohonan, air dan infastuktur bumi, bangunan dan
perusakan, pada hari kamis Allah menciptakan langit. Lalu pada hari jum’at
Allah menciptakan bintang-bintang, matahari dan malaikat, hingga tersisa tiga
masa (sa’at) dari zaman itu, pada masa pertama (al-sâ’ah al-ûla) dari tiga masa
tersebut adalah penciptaan ketentuan-ketentuan hidup dan mati, kedua (al-sâ’ah
al-tsâniyah) memberikan suatu cobaan terhadap segala sesuatu yang bermanfaat
bagi manusia, ketiga (al-sâ’ah al-tsâlitsah) menciptakan adam dan
menempatkannya di surga dan memerintahkan pada iblis untuk bersujud padanya dan
mengeluarkan iblis dari surga”. Kemudian orang-orang
Yahudi tadi bertanya tentang apa yang dikerjakan Allah selanjutnya, Muhammad
menjawab “kemudian Allah bersemanyam dalam arsy”,
lantas mereka berkata ‘kamu benar seandaikan kamu sempurnakan lagi (dari
cerita)’, mereka menjawab, kemudian (Allah) beristirahat. Dengan ucapan tadi
Nabi amat marah, maka turunlah ayat “Dan kami telah menciptakan
langit dan bumi dan diantara keduanya selama enam masa tanpa kecapaian. Maka
bersabarlah (wahai Muhammad) atas ucapan mereka….” Surat
Qof ayat 38-39.[4]
Kemudian proses selanjutnya
adalah “pembentangan” alam semesta. Dapat bisa kita bilang, bahwa ruang alam (al-sama’)
dan
materi (al-ardl) sebelumnya dipisahkan Allah
adalah sesuatu yang padu. Jadi alam semesta ketika itu merupakan satu kumpulan.
Lalu, alam semesta mengalami proses transisi fase membentuk dukhon.
Hal ini terungkap dari pernyataan Surat Fushshilat ayat 11 yang artinya: “kemudian
Allah menuju penciptaan ruang alam (alsama’), yang ketika itu penuh embunan
(al-dukhon).” Hal ini disebabkan, agar tidak terjadi
kekeliruan dalam menangkap maksud kata ‘dukhon’
yang dihubungkan dengan proses penciptaan alam semesta, maka seharusnya kata
ini dipahami degan hasil temuan sains yang telah terandalkan kebenarannya
secara empiris. Hasil temuan ilmuan mengenai hal ini adalah bahwa suatu ketika
dalam penciptaan terjadinya ekspansi yang sangat cepat sehingga timbul
“kondensasi” dimana energi berubah menjadi materi.
Kata “al-dukhan (embunan)” bukanlah
menunjukkan materi asal ruang alam, akan tetapi ia menjelaskan tentang bentuk
alam semesta ketika berlangsungnya fase awal penciptaannya.[5]
Dalam al-Quran banyak ayat
yang secara eksplisit menyebutkan ruang alam (al-sama’) berjumlah
tujuh. Sedangkan al-ardl sebagaimana ruang as
sama’ secara implisit disebutkan juga jumlahnya tujuh. Kata ruang al
sama’ dalam Al-Qur’an ada yang datang dengan konteks mufrad dan ada pula
yang datang dalam bentuk jama’ . Sedangkan kata bumi dalam Al-Qur’an
hanya disebutkan dalam bentuk mufrad saja dan tidak pernah muncul dalam konteks
jama’. Dalam
hal ini Hanafi Ahmad dalam kitabnya, al-tafsir al-ilmi ayat al-kauniyat, menerangkan
bahwa hal ini dimaksudkan agar manusia tidak tercengang dan tidak menuntut
kepada Rasulullah untuk menunjukkan bumi yang lain. Sedangkan
penyebutan al ardh secara implisit berjumlah tujuh, hal ini
bukan ditujukan kepada manusia awam, melainkan khusus buat para pakar
dan kaum intelektual yang akan dapat mengetahui setelah melakukan penelitian
dan penganalisaan. Lain halnya dengan ruang as sama’
berapapun disebutkan jumlahnya, maka manusia tidak akan tercengang dan
tidak akan mempersoalkan, karena mereka yang kebanyakannya sederhana
dalam berpikir tidak mengerti tentang, dan tidak hidup di al sama’.
Adapun proses penciptaan alam selanjutnya, yaitu Allah melengkapinya dengan
menciptakan hukum-hukum tertentu, yang disebut dengan sunatullah. Hal ini
dipahami dari percakapan simbolis antara Allah disatu pihak dan ruang alam dan
materi dipihak lain.
Penjelasan di atas adalah merupakan proses
singkat tentang pkonsep penciptaan islam. Namun titik poin yang bisa diambil
adalah ternyata (menurut saya), tafsir ilmi merupakan sebuah teori yang
sangat komprehensif dan tidak bisa langsung kita tolak dengan sepintas. Banyak
hal yg bisa kita pelajari dari komparasi sains saat ini yang sangat relevan
dengan Al-Qur’an. Jadi, saya tidak mengikuti kritikus Syaltut yang menolak
teori ini secara mentah-mentah. Tentu, sebagai mahasiswa, kita harus memiliki
keberpihakan terhadap perbedaan dengan memiliki alasan yang kuat sebagai
pondasi. Sekian, terima kasih.
Setiawan Al-Fadly
Putra Imam
Mahasiswa Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta
[1] Bustami Mohamed
Khir, “The Qur’an and Science: the Debate on the Validity of Scientific
Interpretation” dalam Journal of Qur’anic Studies, h. 27.
[2] Lihat Fazlur Rohman, Tema Pokok
al-Quran, hal 95.
[3] Ibid, hlm. 135
[4] Ibn Jarir al-Thabary, Tarikh al-Thabari, Maktabar al-Tarikh wa al-Hadlarah, hlm. 20 juz I.
[5] Sirajuddin Zar, hlm. 137.
0 Komentar: