Sangat beruntung, seorang manusia kelak mendapat balasan surga atas amal ibadah yang dikerjakannya di dunia. Syukur-syukur bila nanti di akhirat seseorang tidak sekalipun tersentuh oleh api neraka yang bergejolak. Dan sangat mujur nasib seseorang jika dia menerima buku catatan amal menggunakan tangan kanannya.
Memperoleh kehormatan menempati
surga-Nya yang indah adalah impian mulia setiap muslim yang taat. Mereka rajin
beribadah kepada Allah, menjauhi larangan-Nya serta melaksanakan perintah-Nya,
yang tak lain dan tak
bukan merupakan sebuah usaha
untuk memperoleh rida Allah dan mendapatkan balasan surga.
Namun, apa betul hanya dengan banyaknya amal
ibadah yang kita peroleh di dunia akan menjamin kita pasti akan masuk surga?
Apakah benar segala perbuatan baik kita akan mengantarkan kita dapat pergi
menjauh dari pintu neraka? Dan apakah betul dengan seluruh ketaatan kepada
Allah bisa membuat kita memperoleh keistimewaan, yaitu diberi kesempatan untuk
menyelamatkan orang terkasih kita?
Masalahnya, orang-orang terkadang
terlalu fokus terhadap diri sendiri. Beribadah demi diri sendiri, agar dia saja yang bisa masuk surga. Beribadah dengan begitu tekun seolah tidak ada
hal lain yang dapat membawanya ke singgasana surga. Dan yang lebih miris,
seseorang terkadang mementingkan keuntungan sendiri ketika melaksanakan tugas
yang bersifat kerjasama.
Islam telah menekankan dengan serius
mengenai hubungan yang harus dibangun oleh setiap manusia. Umat manusia
memiliki dua hubungan (relasi)
yang mesti dilandasi oleh rasa tanggung jawab. Yaitu hubungan yang
bersifat vertikal, yakni hubungan antara hamba dan Allah (hablum minallah), serta hubungan yang bersifat horizontal, hubungan
hamba dengan hambanya yang lain atau satu
makhluk dengan makhluk yang lain (hablum minannaas).
Dalam pembagiannya, syariat hukum Islam setidaknya
dikelompokkan ke dalam dua kategori ini, sekaligus merupakan representasi dari
keduanya. Pertama, hukum yang mengatur hubungan hamba dengan Tuhannya. Seperti
hukum yang mengatur tata cara salat, puasa, haji, dan zakat. Kedua, hukum yang
mengatur tentang hubungan satu hamba dengan hamba yang lain, seperti hukum
jual-beli, pernikahan, warisan, dan tindak pidana.
Meskipun adanya dua hubungan itu
merupakan sebuah tanggung jawab bagi setiap manusia, terkadang seseorang hanya
condong terhadap satu hubungan saja, entah hanya yang vertikal ataupun
horizontal. Jika diibaratkan sebagai dua kaki, mereka hanya menggunakan satu
kaki mereka untuk berjalan menuju surga. Jangankan bisa sampai dengan selamat,
syukur-syukur jika kita sampai tepat waktu sebelum pintu surga ditutup.
Seorang pegawai di sebuah perusahaan
bisa saja menjadi yang terbaik dari yang lain dan mendapat perhatian lebih dari
atasannya. Dia mungkin saja memperoleh beberapa penghasilan tak terduga dari
bosnya sebagai hadiah atas kerja kerasnya. Namun, apakah pencapaian pegawai
tersebut tidak membuat iri hati para pegawai lainnya? Kemungkinan besar iya.
Dan apakah rasa iri hati itu tidak
berpotensi mendorong seseorang
untuk berusaha memperoleh apa yang pegawai tersebut capai? Lagi-lagi
kemungkinan besar iya.
Sangat bagus sekali jika usaha yang
dilakukan pegawai lain untuk memperoleh capaian seperti pegawai berprestasi
tersebut adalah usaha yang baik dan benar. Tapi jika usaha itu ialah usaha yang tak
mencerminkan sportifitas? Usaha yang berencana menghancurkan reputasi si
pegawai berprestasi? Di sinilah seharusnya hubungan horizontal (hablum minannaas) kita berperan.
Fenomena ini dengan cepat mengingatkan
saya kepada salah satu cerpen A. A. Navis berjudul “Robohnya Surau Kami”.
Cerpen itu menceritakan sebuah kisah tentang seorang Kakek-penjaga-surau yang mati
bunuh diri. Bunuh diri si Kakek-penjaga-surau dikarenakan dia mengalami
frustasi, dan merasa sangat terganggu oleh kisah yang diceritakan Ajo Sidi,
seorang pekerja biasa.
Ajo Sidi, dengan nada sindirannya menceritakan
seorang ahli ibadah yang masuk neraka sebab hanya peduli pada dirinya sendiri.
Ahli ibadah itu tak memperhatikan anak-cucunya sehingga mereka miskin,
membiarkan kekayaan alam negaranya dirampas negeri asing. Karena kisah itulah,
Kakek-penjaga-surau merasa tersinggung. Dia tak kuasa menahan rasa sesal seolah dirinya orang
yang paling bersalah. Sampai-sampai Kakek itupun bunuh diri.
Dengan adanya kisah Kakek-penjaga-surau
dan Ajo Sidi ini saya tidak lantas mengatakan bahwa orang yang rajin ibadah dan
tidak peduli kepada sesamanya pasti masuk neraka. Itu hanyalah keputusan mutlak
Allah dan kita, yang hanya
sebagai seorang hamba, tidak mampu melakukan apa-apa selain mengharap rida-Nya.
Termasuk dengan membangun hubungan yang bersifat vertikal (hablum minallah) dan horizontal (hablum minannaas).
Maka dengan kuatnya dua relasi tersebut, beruntung jika kita kelak mendapat balasan surga atas amal ibadah kita di dunia. Syukur-syukur bila nanti di akhirat kita sama sekali tidak sekalipun tersentuh oleh api neraka. Dan sangat mujur nasib kita jika menerima buku catatan amal menggunakan tangan kanan kita. Amin.
Oleh Hilmi Lukman Baskoro, reporter buletin Al-khidmah 2018-2020
Gambar: oleh Muhammed Hassan dari Pixabay
Mantab 👍 keren opininya
BalasHapus