Hartono adalah anak satu-satunya putra dari keluarga Yamin dan Sumini. Mereka tinggal di suatu desa yang bernama Desa Mekar Jati di Kecamatan Teluk Nilau. Hartono baru saja menginjak usia 18 tahun dua bulan yang lalu. Sementara Yamin merupakan seorang pegawai desa di kantor kelurahan Mekar Jati. Dan Sumini merupakan seorang ibu rumah tangga biasa di kalangan ibu-ibu yang tinggal di sekitarnya.
Penghasilan keluarga mereka dapat dibilang cukup dari gaji Yamin sebagai pegawai sekretariat kantor lurah di desa tersebut. Keluarga mereka merupakan keluarga bahagia di mana rumah tersebut penuh akan belaian kasih sayang bagi Hartono. Bagi Hartono kedua orang tuanya adalah hidup dan matinya. Hingga pada suatu hari di hari Jumat, saat Hartono bekerja, dkat mendapatkan telepon dari ibunya yang sedang berada di rumah.
“Assalamualaikum, Bu,” salam Hartono ketika baru saja mengangkat telepon dari ibunya.
“Walaikumsalam, Ton,” sahut ibunya dengan nada cemas dan panik.
Sontak saja hal itu membuat Hartono panik karena mendengar suara ibunya yang terlihat cemas. Namun baru saja ingin Hartono bertanya kepada ibunya ia kalah cepat dengan sahutan ibunya.
“Ton, kamu di mana, Ton?”
“Ada, Buk. Tono ada di pasar," jawabnya singkat. “Ada apa, Bu?”
“Bapakmu, Ton."
“Bapak kenapa, Bu?"
“Bapakmu sakitnya kambuh, Ton. Tadi Ibu dapat telepon dari orang kantor desa, kalau bapakmu tak sadarkan diri, Ton," jawab ibunya sambil menangis.
“Innalillahi wainnailaihi rojiun," ucapnya sedikit kaget karena sangat jarang sekali bapaknya yang mengidap sakit asma itu kambuh, hingga tak sadarkan diri.
“Terus bapak di mana, Bu?" timpalnya dengan keadaan panik dan sedikit masih sedikit tak percaya.
“Ini, Ton. Bapakmu dibawa puskesmas, kita disuruh kesana, Ton," jawab ibunya dengan nada gemetaran.
“Ibu takut, Ton."
“Wes, wes Ibu seng tenang dulu ya pokonya. Sekarang Tono balik jemput Ibu. Nanti kita ke sananya bareng," ucap Tono sembari menenangkan ibunya yang sudah panik dan gemetaran.
Setelah menutup telepon sesegera mungkin Tono berkemas akan barang-barangnya, kemudian memohon izin kepada Pak Haji tengkulak sayur tempatnya bekerja di pasar. Pak Haji adalah orang baik yang menerimanya bekerja sebagai kuli sayur miliknya. Tiap pagi Hartono akan ikut Pak Haji menjemput sayur mayur yang ditanam petani di lading. Kemudian membantunya menata dagangan di pasar. Meskipun hanya diberikan upah dua puluh lima ribu perhari, setidaknya itu dapat membantu perekonomian keluarganya.
Sesampainya di puskesmas, Hartono langsung menyuruh ibunya untuk turun dari motor. Kemudian Hartono memarkirkan motornya di bawah pohon jarak milik puskesmas.
“Ton, Ibu takut, Ton," ucap ibunya sambil kakinya bergemetar.
“Bu, Ibu seng tenang,” ucapnya sambil membelai dahi ibunya itu, “Pokonya Bapak tidak kenapa-kenapa. La wong tadi pagi Bapak juga baik-baik aja to," ucapnya sambil menenangkan ibunya.
“Tadi pagi bapakmu sempet ngeluh dadanya sakit pas mau berangkat," ucap Sumini sambil mempercepat jalannya ke arah pintu puskesmas.
Keduanya terus mempercepat langkah ke arah puskesmas yang hampir berjarak dua puluh meter dari tempat ia memarkirkan motornya tadi.
Sesampainya di ruangan resepsionis Sumini langsung saja menghampiri resepsionis yang tengah sibuk memainkan ponsel di tangannya.
“Bu, suami saya gimana, Bu?” ucap sumini kepada resepsionis.
“Bagaimana keadaannya?"
“Bu, tunggu sebentar ya, Bu. Pak Yaminnya sedang ada di ruangan gawat darurat," ucap seorang perempuan yang mengenakan baju putih seragam hijau kebiruan tersebut.
“Bu, bisakah antarkan kami keruangan bapak saya?” ucap Hartono sambil mendekatkan diri ke meja resepsionis.
“Mari, Mas, Bu, saya antarkan," ucap resepsionis tersebut sembari berjalan ke arah dalam puskesmas.
Sesampainya di depan ruangan gawat darurat terlihat lah seorang lelaki paruh baya yang sedang terbaring kaku di atas tempat tidur pasien. Lelaki paruh baya yang sedang terbaring itu adalah ayah Hartono yang sedang ditangani oleh seorang dokter yang serba mengenakan seragam putih.
Sumini berdiri mematung di depan pintu menyaksikan dengan jelas adegan dokter menggunakan stetoskop di atas dada suaminya yang berpindah dari dada kanan dan ke kiri melalui pintu ruangan yang terbuka. Selang berapa detik Hartono yang mendekatkan diri ke Sumini dan memegang bahu ibunya yang sudah dirundung cemas sejak awal. Keduanya masih berdiri tak berani masuk karena takut mengganggu pekerjaan sang dokter.
Adegan yang tak terduga dari Hartono dan Sumini adalah ketika dokter melepaskan stetoskop dari telinganya kemudian memegang tangan pak Yamin yang sudah mulai mengkeriput karena dimakan usia, dan dilanjutkan adegan dokter meletakan jari telunjuk tangan kanannya tepat pada lubang hidung Pak Yamin. Kemudian disusul dengan gerakan menggeleng-gelengkan kepala dengan pelan.
Deg! Serasa jantung Hartono berhenti berdetak, mendadak matanya keram dan berkunang, dadanya sesak untuk bernafas, kemudian ia memandangi ibunya yang masih mendekapkan tangannya dengan bibirnya yang menggigil, dan matanya yang penuh harap akan kesembuhan dari suaminya. Seorang ibu paruh baya yang polos itu masih belum sadar dengan pemandangan yang terjadi di depanya, yang ada di pikirannya hanya suaminya mampu sembuh dan bisa sehat kembali. Namun berbeda dengan perasaan Hartono yang sudah hancur bak gelombang tsunami yang menghancurkan kehidupan di pinggir pantai, kakinya sudah bergetar kaku, bibirnya tak mampu lagi berkata. Namun pada waktu itu tak sampai hati ia ingin memberitahu kepada ibunya. Satu-satunya yang bisa ia lakukan adalah merangkul ibunya dan mendekatkan kepala ibunya ke pundaknya, yang membuat air mata Sumini berkumpul pada kelopak matanya.
Tak selang beberapa lama dokter yang menangani Pak Yamin pun segera berbalik dan berjalan menuju tempat mereka berdiri.
“Bener ini keluarganya?” tanya dokter itu ingin memastikan keluarga dari Pak Yamin.
“Bener, Dok. Saya istrinya dan ini anaknya," ucap Sumini sembari memegang pundak putranya. “Lalu bagaimana keadaan suami saya, Dok?” tanya Sumini dengan penuh harap.
Dokter kemudian maju beberapa langkah dan mendekat sedikit ke samping tepat berdekatan dengan Hartono, dan kemudian menarik nafas dengan berat.
“Bu, Pak Yamin sudah tiada. Sepertinya sakit asma yang dideritanya selama ini sudah cukup parah. Tidak bisa disembuhkan lagi," ucap dokter muda itu sambil membuang nafas dengan beratnya di depan mereka.
“Mas Hartono dan Ibu Sumini, saya turut berbela sungkawa atas kepergian Pak Yamin," ucapnya lirih sembari memegang bahu Hartono. “Semoga, segala amal dan ibadah beliau dapat diterima di sisi Tuhan Yang Maha Esa." Setelah berkata demikian dokter pun segera kembali berjalan ke ruangannya.
Sepeninggalan dokter tersebut Sumini duduk terkulai lemas di samping Pak Yamin. Air mata yang tadinya bersemayam di kelopak matanya pun perlahan menetes diiringi isak tangis Sumini. Hatinya hancur bersama harapnya. Sementara Hartono mematung berdiri di samping ibunya seolah tak percaya bahwa sosok ayah yang ia hormati, sekarang harus pulang ke tempat peristirahatan terakhirnya, dan ia masih tak percaya bahwa tadi malam adalah malam terakhir ia meminum kopi dan merokok bersama bapaknya.
"Bu. Ibu yang sabar. Bapak udah pulang duluan. Bapak udah tenang, Bu. Udah nggak sakit lagi," ucapnya sambil mengelus pundak ibunya. “Ibu. Sampun, Bu. Bapak sedih nanti kalau liat Ibu menangis begini.”
“Iya, Ton," jawabnya singkat. “Ibu takut, Ton. Ibu seperti belum siap ditinggal bapakmu," ucapnya penuh isak dan memeluk putra semata wayangnya itu.
“Sudah, Bu. Sudah. Ibu tenang ada Hartono di sini," jawab Hartono sambil mengelus pundak ibunya.
Tiga bulan setelah sepeninggalan ayahnya, hidup Hartono mulai menuai berapa masalah seperti ekonomi yang kurang membaik. Tabungan yang telah disimpan ayahnya juga sudah mulai habis. Gaji dari hasil ia bekerja di tempat Pak Haji Rokim pun tak cukup untuk menghidupi ia dan ibunya. Ditambah lagi ibunya sering sakit-sakitan. Hartono pun sering terlihat murung karena memikirkan hal tersebut, hingga di suatu hari hal itu dipertanyakan oleh ibunya.
“Huhuk uhukkk. Tonnnn. Ibu lihat kamu sering melamun akhir-akhir ini," ucap ibunya sembari meletakan teh di atas meja ruang tamu di tempat Hartono duduk.
"Kalau ada masalah itu, ya, mbok cerita gitu sama Ibu." Kemudian duduk di sebelah Hartono.
“Tidak apa buk," jawabnya singkat.
“Aku ini ibumu. Aku tahu apa yang ada di kepalamu itu," sembari mengoleskan balsam di dadanya yang parau.
“Bu, bagaimana kalau Hartono merantau saja," jawabnya sedikit ragu, takut membuat hati ibunya sedih.
“Oalah, Ton. La kamu ini kenapa to kok malah mau merantau?" seka Sumini sembari memalingkan pandangan di pojok ruangan rumah.
Hartono pun sudah menduga hal itu akan membuat hati ibunya sedih ia pun segera meminum teh buatan ibunya, "Tapi, Bu. Apa bisa kalau kita hidup begini terus, Bu?" Tabungan peninggalan Bapak juga sudah mulai menipis. Gaji tempatku bekerja di Pak Haji Rokim juga tidak cukup untuk memenuhi kehidupan sehari-hari," jawabnya meyakinkan ibunya.
Sumini pun meneteskan air mata. “Tonnn. ibu takut, Ton kalau harus ditinggal merantau. Ibu tidak punya siapa-siapa lagi," jawabnya menyeka air mata. "Apa kamu gak bisa gitu, Ton kamu cari kerja di sekitar sini, yang dekat-dekat saja," jawabnya sedikit mulai tenang.
Hartono pun hanya dia terpaku sambil memandangi beberapa ruas-ruas ventilasi yang telah dipenuhi sawang, dan jaring laba-laba. Kemudian memutuskan untuk mengambil teh dan meminumnya hingga gelas itu kosong.
"Bu. Aku pamit kerja dulu ya, Bu. Takut terlambat," ucapnya mengalihkan pembicaraan dan berhasil membubarkan lamunan ibunya yang juga terdiam mematung sambil menyilangkan kedua tangannya di atas paha.
Hartono pun menyalami ibunya, dan kemudian segera pergi dengan menggunakan sepeda motor yang dipinjamkan oleh Pak Haji. Selama perjalananya pun isi pikiran Hartono dipenuhi dengan rasa kebimbangan dan keraguan hatinya. Dia ingin sekali pergi merantau dan mendapatkan uang lebih untuk mengobati sakit asma ibunya, tapi di sisi lain dia bimbang akan ibunya, hingga akhirnya sampailah ia di tempatnya bekerja.
“Assalamuallaikum, Pak," ucapnya singkat menyapa pria yang berjenggot putih berpeci putih, yang hanya memakai kaus oblong saja.
“Walaikumsallam, Ton,” jawabnya singkat. Sambi berdiri yang awalnya tadi membungkuk memilah ubi yang boleng-boleng. “Ibu kamu sudah sembuh, Ton?”
"Sudah, Pak Haji," jawabnya singkat dan kemudian Hartono pergi ke depan untuk membawa ubi yang bagus, yang telah di sortir oleh bosnya.
Satu hari ini bekerja Hartono banyak sekali melakukan kesalahan mulai dari salah memberikan timbangan hingga salah memberikan jumlah kembalian pelanggan, dan Hartono banyak merenung dan terdiam. Tentu saja ini membuat Pak Haji sedikit bingung, hingga di waktu pulang Pak Haji mempertanyakan keadaanya.
“Ton, kemari. Dari tadi pagi hingga sore kamu sepertinya kurang fokus bekerja ton?” tanyanya sambil ingin memberikan upah kepadanya.
“Iya, Pak. Maaf saya ada masalah, Pak," jawabnya sambil menggaruk kepala dan mendekat ke teras rumah Pak Haji.
“Cerita lah, Ton. Kamu itu sudah saya anggap keluarga," timpalnya sambil memberikan upah hariannya kepada Hartono.
“Gini, Pak Haji. Saya bingung dengan kebutuhan rumah saya, dan uang untuk berobat ibu," timpalnya dengan muka menunduk.
“Terus gimana, Ton? Apa kamu mau minjam uang untuk berobat ibumu dulu?" jawabnya sambil meminum kopi yang sudah diseduh dari tadi siang.
“Eh tidak, Pak Haji. Almarhum bapak saya bilang untuk tidak meminjam uang selagi kita masih bisa kerja," jawab Hartono sambil memijat-mijat kakinya yang kebetulan tengah duduk bersila.
“Yaa, aku kenal betul dengan wataknya si Yamin itu. Lantas apa rencanamu, Ton?” tanya Pak Haji dengan santai kepada pemuda yang baru menginjakan usianya yang ke delapan belas tahun itu.
“Jadi gini, Pak Haji. Saya punya rencana untuk merantau," jawabnya dengan polos.
“Haaa, merantau?” jawab Pak Haji sedikit kaget. “Ke mana, Ton?” timpalnya.
“Rencana ke kota, Pak," jawabnya singkat dengan kepala tertengadah yakin.
“Kapan berangkat, Ton?”
“Rencana saya secepatnya, Pak Haji. Besok atau lusa."
“Jadi hari ini kerja terakhir kamu ya?” tanya nya sambil memanggut-manggutkan kepalanya.
“Iya, Pak Haji,” jawab Hartono dengan mantap.
“Ya sudah kalau itu sudah menjadi keputusan kamu, Ton. Saya juga gak bisa ngelarang. Toh itu juga demi kebaikanmu,”
“Iya, Pak Haji. Saya juga berharap begitu,” jawab Hartono dengan nada yang berat.
Pak Haji Rokim pun mengeluarkan beberapa lembar uang berwarna merah dan biru dari kantung bajunya, dan memilih beberapa lembar uang dan memberikannya kepada Hartono.
“Ton, ini uang buat ongkos kamu nantinya. Mungkin tidak banyak, tapi semoga saja cukup untuk ongkos perjalananmu,” ucapnya sambil memberikan uang tersebut kepada Tono. "Dan saya juga berterima kasih sudah membantu saya dalam berjualan ton,” timpalnya.
“Terima kasih, Pak Haji,” jawab Tono sambil mencium tangan Pak Haji.
Sesampainya di rumah Hartono kemudian pergi ke kamar ibunya di belakang dekat dapur dan melongokkan kepalanya di sela-sela pintu kamar ibunya. Terlihat wanita tertidur miring, dengan badan yang kurus digerogoti penyakit asma. Hati Hartono terenyuh karena wanita itu adalah satu-satunya orang yang ia miliki saat ini, hingga setelah cukup lama ia memandangi ibunya, Hartono pun segera pergi ke kamarnya untuk mengemasi bajunya yang ada di lemari ke dalam tas jinjing milik ayahnya.
Tak terasa waktu sudah mulai subuh. Hartono yang tidak tertidur satu malam penuhnya dihabiskan dengan mengemasi bajunya dan membersihkan kamarnya. Kemudian ia pergi ke kamar ibunya dengan niat untuk membangunkan ibunya, namun sesampainya di kamar ibunya ia melihat ibunya yang tengah salat. Akhirnya urung hati niat si Hartono untuk menegur ibunya dan segera ia duduk di pinggir tempat tidur.
“Loh, Ton. Sejak kapan kamu di kamar ibu?” tegur ibunya yang telah selesai salat.
Sontak saja teguran iu membuat Tono gugup dan membuyarkan lamunan dan kegelisahan hatinya. “Eh nggak, Bu,” jawabnya singkat karena reflek. “Ini, Bu. Ada yang mau Tono omongin sama Ibu,” timpanya.
“Uhuuk uhukk. Ya sudah kamu tunggu Ibu di ruang tamu ya, Ton,” ucap Sumini sambil melipat mukena yang ia kenakan.
Selang beberapa lama keluarlah Sumini sambil membawakan teh dan ubi rebus yang telah direbusnya tadi malam.
“akenapa to, Ton? kok tumben sekali kamu ada pembicaraan serius gini?” tanya ibunya sambil duduk di sebelahnya.
"Jadi gini, Bu. Hartono sudah memutuskan untuk pergi ke kota, Bu untuk merantau,” jawabnya dengan penuh memastikan kepada ibunya, untuk mendapatkan restunya.
“Terus kerjamu ditempat Pak Haji gimana, Ton?” tanya ibunya.
“Saya sudah berhenti, Bu,” jawabnya singkat.
“Terus kamu kapan berangkatnya, Ton?”
“Hari ini, Bu. Tadi malam aku sudah telepon temen Tono yang supir mobil ikan,” tukasnya singkat. “Dan nanti siang dia yang akan jemput Tono, Bu,”
“Ton. Sebenarnya Ibu ga tega kalua kamu harus bekerja di kota,” Sumini terisak, dan terlihat air matanya menetes pelan. “Tapi kalau itu sudah menjadi keinginanmu, Ton, Ibu cuma bisa berdoa semoga kamu bisa mendapatkan pekerjaan yang layak di kota.”
“Aaminn, Bu. Doa yang seperti inilah yang Tono harapkan dari Ibu, dan semoga Tono lekas mendapatkan uang untuk mengobati penyakit Ibu,” jawabnya sambil memeluk Sumini dengan diiringi isak tangis keduanya.
Teeet tettt. Tiga jam kemudian datang lah sebuah mobil dengan muatan penuh box es yang di dalamnya terdapat ikan-ikan nila beku yang akan dibawa ke kota. Tampak dari depan keluar lah seorang pemuda seusia Hartono dengan menggunakan topi hitam, dan melambaikan tangan ke arah Tono yang sedari tadi menunggu di depan teras.
“Bu. Tono berangkat dulu nggeh. Itu temenku sudah datang,” ucapnya sambil menyalami ibunya dan mencium tangan ibunya. Dan kemudian disambut peluk yang begitu eratnya dari sang ibu.
“Kamu hati-hati ya, Nak di kota, dan ini Ibu ada sedikit uang tabungan. Semoga saja bisa kamu gunakan saat kebutuhan mendadak,” ucapnya penuh isak sembari memberikan amplop berwarna putih. “Dan satu yang harus kamu ingat, jangan samakan di desa dan di kota.”
“Iya, Bu. Tono berangkat dulu, Bu. Assalamualaikum,” ucap Tono kepada ibunya.
“Walaikumsalam,” ucap Sumini dengan berat.
Berjalan lah Hartono sambil menenteng tas yang telah ia persiapkan tadi malam, meskipun dengan berat hati Hartono harus rela meninggalkan ibunya sendirian di rumah. Ditambah lagi dengan keadaan yang sakit-sakitan. Namun dia harus segera mendapatkan uang untuk kebaikan keluarganya sekaligus untuk berobat ibunya.
Perlahan mobil yang ditumpangi Hartono pun perlahan menghilang meninggalkan ibunya yang masih saja berdiri dan melambaikan tangannya dengan penuh harap bahwasanya anaknya akan baik-baik saja di kota. Tak hentinya bibirnya berkomat- kamit membacakan ayat-ayat suci untuk anaknya.
***
Sudah satu minggu Hartono berada di kota. Dirinya tinggal di suatu kos kumuh di belakang kota. Namun apa yang dibayangkan selama ini salah. Dirinya selalu membayangkan bahwa di kota merupakan tempat yang banyak pekerjaan, namun ternyata justru sebaliknya. Mencari pekerjaan hanya dengan mengandalkan ijazah SMP-nya begitu susah. Setiap toko yang hartono datangi selalu memberi syarat minimal SMA. Sudah hampir empat hari ini ia mengelilingi separuh kota dengan berjalan kaki, menanyakan toko dari toko, ruko ke ruko. Namun dengan membawa semangat dan doa dari ibunya membuatnya tak merasa Lelah sedikitpun meskipun keringat sudah membasahi punggungnya.
Hari ini adalah hari ke tujuh Hartono berada di kota dirinya rindu dengan keberadaan ibunya di kampung. Dirinya pun berinisiatif untuk menelepon ibunya.
“Halo. Assalamualaikum, Bu.”
“Walaikumsalam, Tono. Masyaallah, kamu kenapa baru menelepon ibu sekarang, Ton,” ucap ibunya dari seberang sana.
“Iya, Bu. Maaf Tono baru saja beli pulsa,”
ucapnya berbohong kepada ibunya padahal dia tidak ingin menelepon ibunya karena tak ingin ibunya khawatir tentangnya.
“Owalahhh, terus gimana, Ton? Sudah dapat kerjanya?” tanya ibunya.
“Belum, Bu. Sepertinya memang belum rezekinya, Bu,” ucap Tono dengan tenang.
“Ya sudah, Ton. Ibu matikan dulu ya, Ton teleponnya. Ibu mau mencuci baju soalnya sudah ibu rendam dari tadi.”
“Iya, Bu. Tidak mengapa soalnya Tono juga ingin pergi cari kerja, Bu.”
“Jangan lupa makan, ya. Assalamualaikum.”
“Walaikumsalam, Bu. Ibu juga.”
Telepon pun kemudian dimatikan oleh Tono. Dia kemudian melanjutkan untuk tiduran sebentar di atas kasur, karena kakinya terasa sangat keram sekali. Sesekali ia memijat mengunakan balsam. Pandangan Tono menatap tajam ke atap-atap rumah yang sangat penuh dengan sawang dan jaring laba-laba. Pikirannya sedang ruwet memikirkan bagaimana cara ia mendapatkan kerja. Namun lelahnya badan tak dapat dibohongi. Tak berapa lama kemudian Hartono tertidur pulas di atas kasur dengan lelapnya.
***
Masih dalam lelapnya Hartono mendapati sebuah mimpi di mana dirinya berdiri dengan tegapnya di ambang pintu. Matanya yang tajam tertuju pada mayat seorang perempuan yang sedang dikafani dan diiringi dengan isak tangis dari beberapa orang di pojokan dekat sofa itu. Dalam mimpinya itu Tono berjalan mendekati mayat yang terbaring kaku dengan wajahnya yang tertutup kain kafan dan dikelilingi dengan bunga kenanga dan melati. Di saat semua orang sibuk akan tugasnya masing-masing Tono kemudian tanpa sengaja melihat sebuah tulisan dengan tertulis “Sumini binti Jono”. Seketika mata Tono kaget dan terbelalak tajam pada tulisan tersebut, dikarenakan masih belum percaya dengan apa yang dia lihat di depannya saat ini. Dia pun segera bertanya kepada seorang yang sedang menggunting kain kafan.
“Maaf, Bu Le. Kalau boleh tau mayat siapakah ini?” Namun anehnya wanita yang ia tanya tidak menjawab sama sekali justru langsung membuka kain kafan yang digunakan untuk menutupi wajah dari jenazah tersebut.
“Ibu!!!!” Kagetnya bukan kepalang melihat jenazah yang di hadapannya adalah ibunya. Hartono kemudian langsung memeluk jenazah wanita yang telah kaku tersebut, air matanya mengalir begitu deras.
“Maafkan aku Ibu, maafkan anakmu ini,” tangisnya penuh isak.
Tangis Hartono di dalam mimpinya tersebut sepertinya terbawa ke alam dunia nyata. Dia pun sesegera tersadar dengan muka merah dan dengan nafas yang tersengal-sengal. Ia sesegara mungkin mengambil air mineral untuk meminumnya. Bayangan wajah ibunya yang telah meninggal masih terekam jelas di pikirannya. Dia pun segera memenangkan diri sambil mengatur nafasnya yang tak beraturan.
“Ya Allah. Sungguh seram sekali mimpku pada hari ini,” gumamnya sembari melihat sekelilingnya yang telah gelap. Hartono pun sesegera mungkin menghidupkan lampu kamarnya, dan terlihat lah jarum jam yang ada di dindingnya telah menunjukan pukul sembilan malam. Rupanya ia ketiduran cukup lama.
“Pertanda apakah mimpiku ini.” Ia masih saja bergumam dan memikirkan mimpinya barusan. “Almarhum Bapak pernah bilang kalau kita memimpikan orang meninggal. Maka orang itu akan berumur panjang,” gumamnya sambil tersenyum karena teringat akan ibunya yang di kampung.
Hartono pun kembali lega semoga saja perkataan ayahnya itu benar. Ia pun segera beranjak ke kamar mandi untuk berwudlu karena dirinya belum melaksanakan salat.
Trenggg!!! Trengggg!! Tiba-tiba saja teleponnya yang terletak di kasur berdering dengan diiringi getar khas telepon genggam jadul. Hartono yang masih dikamar mandi pun membiarkan nya saja, hingga kemudian a keluar dan segera menuju cermin untuk mengenakan peci yang tergantung di paku dan mengenakanya sambal bercermin, dan kemudian trengggg! Trenggggggg! Teleponnya kembali berbunyi.
“Hah?” ucapnya kaget setelah membaca nama peneleponya saat itu. “Ibu? Alangkah tumbennya Ibu menelpon malam-malam begini?” ucapnya sambil bergumam dengan keheranan.
“Agh, baguslah sekalian aku ingin bercerita kalau aku tadi memimpikan yang aneh tentangnya,” ucapnya sambil tertawa terkekeh.
“Hallo. Assalamualaikum, Bu,” ucapnya dengan lembut seperti biasanya. Namun tidak ada sautan sedikit pun. Yang ada hanya suara riuh tetapi dari kejauhan.
“Assalamualaikum, Bu” ucapnya sekali lagi, “Ada apa, Bu nelpon Tono malam-malam?” ucapnya sambil berjalan dan duduk di pinggir amben tempat tidur.
Hartono pun semakin bingung dan mengernyitkan dahinya, bingung dengan apa yang terjadi tetapi pikirnya mungkin ibunya sedang berada di suatu acara.
Namun tiba-tiba saja terdengar suara perempuan dari seberang sana.
“Assalamualaikum, Mas Har.” Suara dari seberang sana dari perempuan yang masih muda dan tentu saja itu bukan ibunya,
“Loh, Lina?” ucapnya kaget karena bukan ibunya yang memegang telepon tersebut.
“Linn, kok kamu bisa pegang hp ibuku?” Hartono tahu kalau itu Tina, tetangganya karena hanya dia satu-satunya wanita di desa yang memanggilnya Mas Har.
“Iya, Mas. Ini Lina,” jawabnya panik.
“Loh kamu kenapa Lin? Kok panik gitu ada apa?” Tono juga sudah merasa ada yang tidak beres dengan ibunya.
“Mas, Ibu Sum jatuh, Mas di kamar mandi,” ucapnya dengan panik
“Kok bisa, Lin?” ucap Tono dengan kaget
“Terus ibuku gimana?” timpalnya.
“Jadi gini, Mas. Tadi Lina pulang dari pasar lihat pintu rumah Bu Sum terbuka depannya dan jendelanya juga terbuka, tapi Lina ga berpikir apapun. Mungkin Bu Sum lagi di dalam rumah. Tapi, Mas, pas udah petang Lina liat pintunya juga masih terbuka dan jendela juga terbuka, dan yang membuat Lina curiga lampunya belum dihidupkan, Mas,” ucapnya dengan nada terbata-bata dan Lina pun berhenti berbicara sebentar untuk mengambil nafas.
“Lina pun mengajak ayah dan ibu Lina untuk melihat keadaan Bu Sum, dan kami pun memanggilnya dari teras, Mas. Tapi tidak ada jawaban. Terus Ayah menyuruh Ibu untuk memanggil Pak RT dan warga sekitar. Setelah terkumpul, Mas, kami pun masuk ke dalam rumah dan mencari Bu Sum sambil memanggilnya tapi tak ada sahutan sedikit pun.”
Lina pun berhenti kembali untuk mengambil nafas.
“Terus gimana, Linn?” desak Tono yang semakin panik dengan keadaan ibunya.
“Terus kami melihat Bu Sum tergeletak di kamar mandi, Mas. Kami pun segera mengecek dan Ayah kemudian membopongnya ke kamar, Mas. Tapi....” Lina pun berhenti kembali. Tapi kali ini bukan karena kehabisan nafas.
“Tapi apa Linn? Cepat katakan.” Hartono pun langsung berdiri.
“Tapi Bukm Sum sudah tak ada lagi, Mas” ucap Lina terdengar berat dari seberang sana.
Degggggg! Kaki Hartono lemas. Terduduk tubuhnya terkulai lemas di dekat kasur. Kakinya pun tak mampu lagi menopang berat tubuhnya. Bibirnya gemetar. Telepon di tangannya pun sudah terjatuh ke bawah kakinya. Perasaanya kala itu sudah hancur menjadi jutaan keping bersama dengan datangnya sebuah kabar yang begitu menyesakan dadanya.
“Innalilahi wainailaihi rojiun.” Bibirnya masih gemetar mengucapkan kalimat itu. Hartono pun langsung teringat akan segala kenangan-kenangan bersama ibunya kala ia meminta izin untuk pergi ke kota, dan ternyata ketakutan akan ibunya itu adalah pertanda bahwa umur ibunya memang sudah tak lama lagi. Siapa sangka ubi rebus dan teh hangat yang ibunya sajikan waktu itu, dan pelukan yang menghantarkannya di teras rumah itu adalah yang terakhir kalinya.
Tinggal lah sesal di hatinya kedua orang tuanya pergi. Tak sempat ia membimbing dan membisikkan dua kalimat syahadat di telinga orang yang telah membesarkannya dengan penuh cinta.
Ahadianto, mahasiswa Sastra Indonesia Universitas Jambi
Penulis mampu menyuguhkan cerita dengan apik. Teruskan semangat menulis.
BalasHapus