“Santri saya yang pulang atau berhenti harus
ikut mengurusi, memikirkan paling tidak salah satu yang tiga: 1. Pendidikan
Islam, 2. Dakwah melalui NU, 3. Ekonomi Masyarakat. Biar alim, biar kaya, tapi
tidak ikut salah satu tersebut, saya ingin tahu kesempurnaan hidupnya. Sebaliknya, biar bodoh, biar miskin, tapi turut mengurusi, cawe-cawe, paling tidak salah satunya dengan ikhlas, rasakan sendiri kesempurnaan
hidupnya”.
-K.H.R. As’ad Syamsul Arifin-
Dawuh
tersebut seolah mewajibkan setiap santri untuk ikut serta dalam usaha
memberdayakan ekonomi umat.
Islam
telah mengatur ekonomi umat melalui sistem ekonomi syari’ah. Sistem ini dinilai
sebagai solusi dari persoalan model ekonomi kapitalis dan sosialis, si pendahulunya.
Ekonomi
kapitalis yang menitikberatkan pada kehendak individu, membuat pemilik modal
sangat berkuasa. Sedang ekonomi sosialis yang berpusat pada kuasa pemerintah untuk
mengatur segala hal membuat rakyat semakin tertekan dalam bekerja.
Kegelisahan
akibat dua sistem ekonomi tersebut, lantas menghadirkan sistem ekonomi syari’ah
dengan konsep etika dan berlandaskan hukum agama dalam menjalankan setiap
kegiatan perekonomian.
Salah
satu potensi ekonomi syari'ah terbesar Indonesia ada pada dunia pesantren dan
masyarakatnya. Kemandirian pesantren sejak berabad-abad lalu menunjukkan bahwa
pesantren telah memiliki basis ekonominya sendiri. Pesantren, dengan berbagai
potensi strategis yang dimilikinya layak menjadi lokomotif ekonomi syari’ah.
Sebenarnya,
produk-produk ekonomi syari’ah ialah kekayaan pesantren, yang digali dari fiqh
mu’amalah dalam kitab kuning, objek kajian khas pesantren. Seharusnya para
santri lebih memahami ekonomi syari’ah dibanding nonsantri, karena sehari-hari mereka
bergelut dengan keilmuan syari’ah.
Menilik kembali sejarah, pada tahun 1918, saat Indonesia masih melawan kolonialisme Belanda, seorang ulama pesantren sekaligus aktivis pergerakan nasional, K.H. Wahab Chasbullah bersama saudagar santri lainnya mendirikan sebuah perkumpulan saudagar. Perkumpulan ini dikenal dengan sebutan Nahdlatul Tujjar (Kebangkitan Para Saudagar).
Nahdlatul Tujjar bertujuan meningkatkan kehidupan sosial ekonomi masyarakat, sekaligus melawan penjajahan dan penindasan kolonialisme Belanda.
Dari masa lalunya tersebut, tak heran bila sebagian besar pesantren mempunyai wadah khusus bagi santri untuk berwirausaha. Bumi Nusantara salah satunya, yang mewadahi para santri pengusaha di Pondok Pesantren Salafiyah Syafi’iyah Sukorejo Situbondo.
Bumi Nusantara berusaha mencetak kader wirausahawan santri untuk
siap memberdayakan ekonomi umat. Sumber daya manusia yang mumpuni, diharapkan
mampu menjadi cadangan di masyarakat dalam membumikan ekonomi syari’ah.
Dalam
perjalanannya, kegiatan berwirausaha di pesantren mulai menuai larangan. Tak
ada yang boleh melakukan segala bentuk jual-beli dengan dalih apapun. Namun, lambat-laun
aturan itu dicabut sebab berbagai pertimbangan. Yakni agar tidak membatasi mereka
yang memiliki gelora bisnis dalam dirinya, juga mendukung
kajian-kajian ekonomi perguruan tinggi.
Selain
itu, Gubernur Jawa Timur, Khofifah Indar Parawansa, menggaung-gaungkan OPOC (One
Pesantren One Product). Hal ini menjadi angin segar bagi santri pengusaha. Mau tidak mau, harus ada solusi dari kecamuk hasrat wirausaha. Oleh
karenanya, Bumi Nusantara diharap mampu menjadi obat dan sebagai kesempatan
emas untuk mengekspresikan skill pengusaha santri. Dan syukur-syukur bisa menjadi penerus Nahdlatul Tujjar.
Dalam al-Qur’an surah An-Nisa’ ayat 29, Allah berfirman yang artinya; “Hai orang-orang yang
beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil,
kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama suka di antara
kamu”. Ayat tersebut mengabarkan bahwa jual-beli ialah solusi untuk interaksi sosial dalam bidang ekonomi.
Rasulallah juga turut menjelaskan tentang perdagangan, “Dari Mu’az bin Jabal, bahwa Rasulallah bersabda, ‘Sesungguhnya sebaik-baik usaha adalah usaha perdagangan yang apabila mereka berbicara tidak berdusta, jika berjanji tidak menyalahi, jika dipercaya tidak khianat, jika membeli tidak mencela produk, jika menjual tidak memuji-muji barang dagangan, jika berhutang tidak melambatkan pembayaran, jika memiliki piutang tidak mempersulit”.
Hal-hal
seperti inilah yang menjadi nilai plus bagi entrepreneur santri, yaitu menjadikan Alquran dan Hadis sebagai rujukan.
Jadi untuk apalagi ragu dalam berwirausa. Menjadi pedagang tidak membuat seseorang
menjadi hina, menjadi pengusaha tak membuat orang dipandang remeh. Tengok Rasulallah,
beliau seorang pedagang. Pedagang yang
sangat dipandang, berkat aspek syari’ah yang diaplikasikannya. Para sahabat juga seorang saudagar kaya raya dari hasil berwirausaha.
Para santri, sudah seharusnya merasa beruntung dengan hadirnya Bumi Nusantara. Sehingga basic berwirausaha tertanam kuat, lalu dipraktekkan, agar mampu mensejahterakan masyarakat di daerahnya masing-masing.
Abdul
Adim, pimpinan redaksi buletin Al-khidmah 2018-2020
Gambar oleh Rudy
and Peter Skitterians dari Pixabay
0 Komentar: