Senin, 05 April 2021

Eksistensi Majas dalam Alquran

 


Sebab Al-Quran adalah karya sastra Tuhan Yang Maha Indah, maka keberadaannya tidaklah dapat dilepaskan dari kesusasteraan bahasa. Terlebih lagi lafadz-lafadz Al-Quran kesemuanya diturunkan dalam berbahasa arab yang pada realitanya kaya akan nilai sastra yang tinggi. Jadi tak heran jika Al-Quran dikatakan sebagai manifestasi karya sastra teragung dalam peradaban manusia. Karena semenjak Al-Quran diturunkan 14 abad silam hingga sekarang tak ada satupun orang yang dapat menciptakan karya tandingannya. Bahkan Tuhan mengadakan tantangan terbuka, kapan-pun dan dimana-pun, untuk seluruh orang yang masih meragukan ke-otentikan Al-Quran agar membuat padanannya; walau hanya satu ayat

Sebagaimana yang telah dijelaskan bahwa Al-Quran ialah tak bisa dipisahkan dari nilai-nilai satra bahasa arab. Oleh karenanya ia pastinya memiliki unsur-unsur dari bahasa tersebut. Dalam perspektif ilmu bahasa, suatu kalimat adakalanya mengandung unsur majas dan adakalanya tidak. Majas sendiri dapat kita artikan sebagai kalimat kiasan atau perumpamaan. Ambil contoh perkataan” Aku tanpamu sebutir debu”

Dalam makna sejatinya, bukan berarti ‘Aku’ disana merupakan ’butiran debu’ yang berterbangan di udara dan diterpa angin. Bukan. Karena pembicara disana sedang mengumpamakan dirinya dengan sebutir debu yang hina, tak ada nilai manfaatnya serta dihiraukan keberadaanya. Dalam kajian Ushul Fikih hal ini dikenal sebagai Majas Isti’aroh.

Setelah membaca pemaparan diatas, otomatis akan muncul dibenak kita tentang apa arti majas dalam kajian ilmu ini? Lalu seberapa pentingkah eksistensinya dalam kajian istinbat hukum islam?

Imam Taqiyuddin as-Subki mendefinisikan majas sebagai:

"لفظ مستعمل بوضع ثان لعلاقة"

“Lafadz yang digunakan dengan peletakan makna kedua karena adanya ‘alaqoh (penghubung)”

Definisi ini merupakan kebalikan dari hakikat yaitu:

اللفظ المستعمل الذى وضع له ابتداء"”

“Lafadz yang digunakan dengan peletakan makna asal saat pertama kali dicetuskan”

Dari sini dapat dipahami bahwa terjadi perubahan makna asal lafadz yang dibuat pertama kali hingga menjadi makna kedua yang berkesesuaian dengan indikasi yang menyertainya.

Majas sendiri berasal dari akar kata Jawaz yang memiliki memiliki arti melampaui. Oleh karenanya Imam Al-Jurjani mengatakan bahwa majas adalah sesuatu yang melampaui dan keluar dari tempat asalnya menuju tempat lain karena ada kesesuain antara kedua tempat tersebut baik dalam hal bentuk, makna yang dikandung, ataupun kemiripannya.

Misalnya adalah kata Sholat yang memiliki makna asal Doa. Kemudian seiring dengan berjalannya waktu, kata ini digunakan untuk makna baru yang berbeda dari makna pertama kali ketika dibuat. Yaitu sebuah ritual keagamaan yang harus selalu dilakukan umat islam. Penggunakaan kata sholat untuk sebuah ritual adalah majas dan antara makna asal (doa) dan makna baru (ritual) memliki keterkaitan, yakni ucapan-ucapan dan tindakan-tindakan yang ada dakam ritual keagamaan merupakan doa dan sebagain bentuk ketuntudukan kita terhadap Alloh. Nah, yang ini biasa disebut Majas Naql.

Mengenai eksistensinya didalam Al-Quran ulama khilaf. Keberadaannya diakui secara mutlak menurut pendapat yang masyhur. Sedang menurut sebagian ulama’ yang lain menolak eksistensi majas dalam teks-tels yurisprudensi islam dengan mutlak. Sebab ditenggarai terdapat unsur kebohongan dalam majas secara dzohir. Sementara Al-Quran tentunya harus bersih dari unsur-unsur tersebut. Tapi menurut pendapat yang pertama, hal ini dapat disanggah dengan keberadaan ‘Alaqoh(penghubung makna). Karena dengannya tidak akan ditemui unsur kebohongan pada majas.

Salah satu contoh adanya majas didalam Al-Quran dapat kita jumpai pada ayat 19 surat Ali Imron yang berbunyi:

وَاسْئَلِ الْقَرْيَةَ الَّتِى كُنَّا فِيْهَا"”

Lafadz الْقَرْيَةَ merupakan maful bih dari fiill amar اسْئَل Sehingga ayat diatas dapat kita artikan dengan:

“dan tanyalah negeri yang Kami berada disitu....” (QS.Yusuh:82)

Akan tetapi ayat diatas tidaklah mungkin kita artikan demikian(dengan mengartika الْقَرْيَة secara hakikat, yakni suatu tempat bermukim masyarakat desa) Karena bagaimana mungkin kita dapat bertanya pada suatu tempat? Dan bagaimana bisa suatu tempat menjawab pertanyan yang kita berikan?

Oleh karenanya tidak cocoknya penggunaan hakikat afadz الْقَرْيَة disini. Maka makna majas menggantikan makna hakikat. Sehingga makna sejati ayat diatas adalah

“Dan tanyalah (penduduk) negeri yang Kami berada disitu....”(QS.Yusuh:82)

Terdapat beberapa faktor yang menyebabkan peralihan makna hakikat kepada makna majas. Antara lain karena makna hakikat dianggap berap pengucapannya, kuran enak didengar, lafadz hakikat jarang diketahui, demi penikangkatan unsur sastra dan balaghah, atau masyhurnya majas dan masih banyak lagi.

Kesimpulannya, eksistensi majas dalam Al-Quran merupakan hal yang penting diperhatikan sertya menjadi syarat mutlak bagi seorang mujtahid untuk benar-benar memahaminya. Karena tanpanya proses istinbat hukum dari teks-tek yurisprudensi islam(Al-Quran dan Sunnah) akan sukar unutk dilakukan. Selain juga untuk menghindari keslah pahaman dalam memahami firman-Nya. Sebagaimana Umat Nasrani yang terjerumus dalam pensucian Nabi Isa sebagai Tuhan atau perwujudan-Nya didunia. Hal ini tak lain sebab pemahaman mentah-mentah mereka dalam melahap kitab sucinya tanpa melakukan takwil terhadap ayat-ayat yang irasional. Fa’tabiru..!


0 Komentar: