Rabu, 16 Desember 2020

Semangat + Penyemangat = Hebat

 




Bukan seberapa sering kamu gagal,

tetapi bagaimana sikap yang kamu ambil

untuk bangkit dari kegagalan.


4 tahun negara kita terbebas dari jeratan kebengisan belanda dan jepang. 70+4 tahun juga Pak Karno yang ditemani sahabat juangnya yaitu Bung Hatta berdiri gagah di atas podium untuk memproklamirkan bahwa sekarang hatta yaumil qiyamah Indonesia telah merdeka, hal itu telah disaksikan oleh berjubel-jubel rakyat indonesia, semuanya tumplek blek di sana. Tapi yo rek, apa indonesia telah haqqul yaqin merdeka? Kalau iya, kok masih banyak rakyat yang kelaparan, penganguran bertebaran, lalu tak sedikit anak yang putus sekolah karena tak ada biaya. Oh, mungkin ini salah satu varian rasa dari kemerdekaan.

Beberapa waktu lalu, sebagai negara yang bergenre demokrasi, Indonesia kembali mengadakan pemilu serentak untuk menentukan nohkoda 5 tahun ke depan. Ternyata Pak Jokowi dan Mbah Yai Ma'ruf Amin yang terpilih sebagai nahkoda dalam bahtera Indonesia. Tapi yo lur, kendati Indonesia punya nahkoda baru, kita tak boleh berleha-leha. Pasalnya, tantangan kehidupan ke depan lebih berat dari pada sebelum-sebelumnya. Ditambah lagi kondisi negara yang tak mendukung. Maka berleha-leha tak mungkin lagi untuk dipikirkan.

Berkembang adalah status yang saban masa terus menahan Indonesia. Padahal ya, negara kita sudah pernah dipimpin oleh orator ulung, jenderal, pembuat pesawat, pak kyai, dan tokoh-tokoh lain. Tapi entah apa yang membuat indonesia betah di posisi berkembang, kok tidak pernah beralih status menjadi negara maju tak gentar.

Untuk menghadapi bahtera kehidupan yang semakin terjal, caranya sebenarnya gampang, cuma BE-LA-JAR. Kendati pun cuma belajar, banyak dari kita dan sohib-sohib kita yang kewalahan dalam menuntut ilmu. Bahkan sampai jarang sekolah hingga akhirnya dapat pundi-pundi skor yang memuaskan hati dan membuat kepala gundul. Sampai orang lain pun kena imbasnya. Eits.. cukup ngomongin skornya, soalnya kemarin di edisi 21 sudah dijelaskan sama Mas Rijal Muallim. Di sini kami ingin memberi sedikit obat untuk kita semua agar kita tidak menyusahkan guru BP. Tau gak sih? Tugas guru BP yang sejatinya ringan jadi berat karena kita. Tapi yo wes ben! Kita urus masalah kita terlebih dahulu.

1. Orang tua sebagai penyemangat

Kita pasti ingat saat baru menginjakkan kaki di Sukorejo, awal-awal daftar santri baru. Orang tua panas-panasan mendaftarkan kita, berdesak-desakan dari saking banyaknya pendaftar. Terus ke kyai untuk memasrahkan. Kemudian nentuin asrama untuk ditempatin. Bayar utap dan seterusnya. Seperti yang sudah kita lewati dulu. Apa kita tak sadar akan perjuangan mereka? Coba mikir dan renungin akan sepak terjang mereka demi kita. Insyaallah kita tak akan malas-malasan lagi. Cuma merenung kok. Masak harus di ingetin terus sama Ustad Soleh Az-zahra setiap malam, 'cucuran keringat dan air mata....'

2. Idaman sebagai pedoman

Karena orang tua dirasa masih sangat 'cia'. Maka langkah berikutnya adalah idaman kayak teman dekat atau bahasa lainnya sih pacar. Jadikan si dia sebagai penyemangat. Jangan ambil enaknya saja. Suruh dia untuk memotifasi kita agar rajin lagi. Lalu suruh si dia selipkan nama kita di sepertiga malam dalam doa. Tapi langkah kedua ini hanya untuk kita yang punya saja ya.

3. Seringin ke asta

Pendiri dan pengasuh pertama pondok ini pernah bilang, “mon andik masalah, sare engkok ka budina masjid”, maksudnya ke asta, agar berdoa. Sadar gak berapa kali kita ke asta? Kemalasan adalah salah satu permasalahan dalam kehidupan. Jadinya ke asta ya cong!

Terakhir, kita seharusnya memilih salah satu dari ketiganya. Agar kita tidak terus-terusan berbuat dosa kepada orangtua, kyai dan para ustad maupun ustadzah. Kalau 3 langkah ini sudah dicoba, tapi tidak berbuah apa-apa. Maka istighfarlah! Kemasi barang, izin ke kyai, lalu stop bis di lorong laok sambil katakan 'selamat tinggal kemalasan!'

0 Komentar: