Senin, 19 April 2021

Perjuanganku



Menghafal Alquran bukanlah hanya tentang melafalkan huruf hijaiah dengan benar, atau menggunakan kaidah tajwid yang berlaku. Tapi lebih dari itu, seorang santri harus bisa menjaga eksistensi hafalan Qur'annya dengan menjaga keistikamahan mudarrosah-nya, menjauhi perbuatan maksiat yang mengakibatkan hafalan mudah hilang, dan melakukan amalan-amalan sunah agar diberi kemudahan saat menghafal Alquran.

"Lek nderes Iki alon-alon tur banter suarane, ojo cepet-cepet tur yo lirih suarane." (Kalau nderes itu pelan-pelan tapi keras suaranya, jangan cepat-cepat juga lirih suaranya).

Begitulah kira-kira dawuh dari Al-Mukarom Kyai Mubarok Hasyim, selaku pengasuh pondok pesantren Roudlotul Huffadzil Qur'an. Mengapa harus nderes pelan-pelan? Karena bak seorang berjalan di jalan licin, ia harus pelan-pelan agar tidak terpeleset. Juga kenapa harus keras suaranya? Karena hafalannya itu agar membekas di hatinya. Bak seorang yang berjalan di tempat berlumpur, agar jejak kakinya membekas maka harus ditekan, semakin kuat tekanan semakin jelas pula jejaknya.
Ini adalah sebuah cerpen tentang lika-liku menghafal Alquran, yang mungkin jarang terjadi, atau malahan sering terjadi pada para penghafal Alquran.
 
Perjuanganku (part 1)
 
Telah kubaca berulang kali ayat ketiga pada baris kelima, sungguh uangel tenan, membuatku putus asa di tengah perjuangan. Aku mengambil nafas panjang, lalu kuhembuskan perlahan-lahan dalam bentuk karbon dioksida, seraya berpikir, "hah...! Aku harus bisa, bukankah Alquran telah dimudahkan untuk diingat oleh Allah SWT". Aku mendongakkan kepala, melihat jam dinding yang telah menunjukkan pukul sebelas malam. Waktu dimana semua para insan telah terlelap di alam mimpinya, tapi tidak denganku! Sebelum tugas mulia ini terselesaikan, aku tidak diperkenankan untuk tidur. Entah apa yang terjadi besok pagi, jika aku tidak menyelesaikannya sekarang.

Rintangan terjal itu tidak berhenti di sini saja, mulai bermunculan tanjakan berbahaya, seperti rasa kantuk yang kuat, penat, lelah, letih semuanya berkumpul menjadi satu. Seperti membebani punggungku, begitu beraaat sekali, bak memikul berton-ton rasa rindu. Karena kata Dilan, "Milea, kamu jangan rindu, rindu itu berat, kamu gak akan kuat".
 
Karena akumulasi gas dalam perut, sengaja maupun tidak, aku melakukan flatulensi. Yakni, keluarnya gas berupa nitrogen, oksigen, metan, dan sebagainya melalui anus atau dubur. Aku pun beranjak dari tempatku, hendak melaksanakan hukum fikih bab sesuci, yaitu wudu. Mulai dari niat, membasuh wajah, membasuh kedua tangan sampai siku-siku, mengusap sebagian kepala, membasuh kedua kaki sampai mata kaki dan yang terakhir tertib. Kemudian aku pergi menuju ruang dapur, menuangkan sesendok kopi bubuk, gula dan 200 ml air mendidih, berharap dapat meminimalisir terpejamnya mata di tengah perjuangan. Kulanjutkan lagi tugas muliaku, menghafal Alquran, sesekali kuseduh nikmatnya cita rasa kopi hitam arabika yang menentramkan jiwa.

Tak terasa malam semakin larut, semilir angin yang lembut ditambah heningnya suasana tengah malam, membuatku berkali-kali hampir memejamkan netra, bahkan serangan kantuk yang kuat, mengakibatkan kepalaku terjungkal ke depan dan belakang. Karena itu, mau tidak mau dengan terpaksa aku harus menghafalnya dengan berdiri, sembari mengelilingi ruangan dan memelototkan pandangan agar rasa kantuk itu hilang. "Ya Allah... mengapa ujian-Mu ini begitu berat, katanya Engkau tidak akan menguji hamba-Mu di luar kemampuannya". Eluhku seraya mengangkat kedua tangan dan memandangi langit-langit kamar.

Tiba-tiba kepalaku menjadi pusing, mungkin karena terlalu lama berputar-putar dan berkomat-kamit melafalkan ayat-ayat suci Alquran. Aku pun mendesah kasar, tanganku mengepal, kulampiaskan kekesalan ini dengan menjotoskanya ke tembok ruangan, meski malah menambah rasa sakit. Aku melorot, memojokkan diri di ruangan kamar, mengasihi diriku sendiri. Tanganku meraba-raba tembok ruangan seolah meminta sebuah pelukan, tapi nyatanya tak ada yang bisa dipeluk.
Berselang tak lama kedua manik hitamku menjadi bendungan, mataku berkaca-kaca meratapi kesedihan ini.

Tes, tes, tes

Tetes demi tetes air keluar dari netraku, membasahi pipi tembemku, kucoba untuk menangis tanpa suara. Agar tidak membangunkan tidur pulas teman-teman.
 
***
 
Kriiiinnnggg kriiiinnnggg, suara alam berbunyi menunjuk pukul setengah tiga malam. Pelaku pemasang alarm pun terbangun, namanya Miftah. Ia mematikan alarm lalu pergi menuju kamar mandi, tapi di tengah jalan, ia mendengar suara isak tangisan di kamar sebelahnya. Tanpa pikir panjang Miftah pun mendatanginya.

Miftah melihat seorang pemuda tak berdaya, tengah bersedekap memojokkan diri di ruangan kamar itu. "Farid, kamu kenapa?" tanya Miftah kaget.

Miftah mendekati Farid, merentangkan tangannya memeluk Farid. "Kamu ini kenapa, sih? kamu gak kerasukan jin, kan?" Ujar Miftah memastikan.

Dengan nada tersengal-sengal Farid menjawab, " tu, tu, Tuhan ini gak adil, tah?"

"Maksud kamu?"

"Semuanya udah kulakoni, ikhtiar, usaha dan doa, tapi nyatanya....hiks, hiks, hiks."

"Astaghfirullah, istighfar Farid...! Apa kamu tidak ingat bahwa tiada suatu usaha yang dapat menjebol takdir Allah. Pasrahkan semua hasilnya kepada Allah...!" Mendengarnya, Farid semakin menangis histeris, di pelukan Miftah.
Bersambung...
 
***
 
"Semangat yang menggebu-gebu tidak akan mampu menjebol batas-batas takdir." (Ibnu Attahillah dalam syarah Al-Hikam).

Lantas untuk apa manusia berdoa dan berusaha, jika takdir telah ditentukan?

Sejatinya berusaha dan berdoa itu memang tugas manusia, lalu untuk hasilnya kita serahkan kepada Allah azza wa jalla. Entah itu baik maupun buruk kita harus menerima. Itulah yang disebut qanaah.

"Seluhur apapun cita-citamu, tak akan ada yang mampu menjebol takdir Allah."
 


Oleh Muhammad Atabikul Umam, lahir di Banyuwangi, 9 April 2005. Tinggal di Sukorejo Bangorejo Banyuwangi. Saat ini bersekolah di MA Al- Huda Sukorejo.

Gambar oleh 15329403 dari Pixabay 

0 Komentar: