"Mon maca ketab, jek pera’ maca leng-celengnga malolo, tape beca kia te-potena.” Saya sengaja membuka tulisan ini dengan salah satu dawuh yang saya dengar langsung dari ustadz saya dahulu ketika masih di pesantren. Dengan tujuan mempertanyakan kembali seberapa paham kita terhadap sesuatu yang telah kita baca.
Dawuh ini bagi saya merupakan langkah lebih jauh dari
hanya sekadar perintah
membaca. Membaca saja sudah dianggap tidak
lagi mencukupi. Harus ada aksi lanjutan dari hanya sekadar kegiatan membaca, harus ada
peningkatan dalam kualitas membaca, dan yang terpenting harus ada sebuah hasil
dari kegiatan membaca.
Alquran menyebutkan perintah membaca di
dalam surah Al-Alaq, yang jika hanya kita pahami
secara sederhana, tak ada hal lain lagi yang mesti dilakukan kecuali hanya sekadar
membaca. Namun, dalam pemaknaan secara lebih
mendalam,
kata Iqro’ tidak sebatas pada
kegiatan membaca, tapi juga menelaah, mendalami, dan meneliti.
Dari beberapa
makna Iqro’ tersebut,
dapat dilihat bahwa dawuh ustadz saya adalah pengembangan dari teks Alquran
surah Al-Alaq ayat satu tersebut. Kita tidak
boleh berhenti hanya dengan membaca tulisan yang tampak. Seyogyanya kita juga meneliti apa makna tersembunyi yang hendak disampaikan penulis.
Secara lebih gampang, dalam kegiatan
membaca, kita diperintah tidak hanya semata-mata membaca dan melewatkannya
begitu saja, tetapi harus kita iringi pula dengan kegiatan berpikir kritis
(berulang-ulang), keberanian untuk menarik kesimpulan, dan bahkan, bila perlu kenekatan
untuk bersilang pendapat.
Dalam ranah yang lebih luas dari sekadar
kegiatan membaca, dawuh tersebut dapat dipahami sebagai perintah meneliti lebih
dalam makna kehidupan yang kita jalani. Dawuh itu seolah-olah memprovokasi pikiran kita
bahwa kehidupan selalu menyimpan hal-hal yang bersifat rahasia, yang tidak tampak oleh mata
telanjang kita, sebagaimana tulisan yang menyimpan rahasia-rahasia di balik
tinta hitam (leng-celengnga) di atas
kertas (te-potena).
Tidak mengherankan jika sebagian ulama
yang mampu merumuskan hukum-hukum Islam melalui pemikiran yang kritis adalah seorang pembaca kelas berat.
Karena proses dan pengetahuan yang
didapat dari kegiatan membaca telah mempertajam daya pikir mereka. Fenomena ini
kemudian membuat banyak psikolog merumuskan teori keterkaitan antara kecerdasan
seseorang dengan kegiatan
membaca. Meskipun membaca bukan
satu-satunya hal yang mampu meningkatkan kecerdasaan.
Namun, perlu ditengok, tingkat literasi yang
tinggi (membaca, menulis, berhitung), juga saling berpengaruh terhadap kadar
seberapa maju sebuah negara. Sebagaimana di awal, kegiatan membaca dapat
memantik kebiasaan berpikir kritis, pemecahan masalah (problem solving), dan kepekaan sosial. Tiga hal ini sangat berhubungan
dengan tingkat kemajuan sebuah negara.
Lihat saja Jepang,
sebagai negara salah satu
kiblat teknologi dunia masuk jajaran sepuluh besar literasi tertinggi di dunia.
Negara yang kebudayaannya menjadi semacam demam di seluruh dunia, Korea
Selatan, tak jauh berbeda peringkat literasinya dengan Jepang. Dan Singapura,
negara kecil terkaya di Asia Tenggara, adalah salah satu negara yang rakyatnya
paling rajin membaca buku di dunia.
Semua kemelut tentang kegiatan membaca
ini sekejap mengingatkan saya kepada perkataan Syekh Musthofa Al-Gholayaini
dalam kitab monumentalnya, Jaami’u
Ad-duruus Al-‘arobiyyah, tentang salah satu tujuan dirumuskannya Ulumul Arobiyyah. Secara singkat beliau
menjelaskan bahwa motivasi dirumuskannya Ulumul
Arobiyyah adalah kekhawatiran para ahli bahasa akan beberapa fenomena
kekeliruan dalam berbahasa.
Maka Syekh Musthofa Al-Gholayaini
mendefinisikan Ulumul Arobiyyah
sebagai ilmu yang dapat menghindarkan kita dari kesalahan mengucapkan dan
menuliskan bahasa (kesalahan berbahasa), sekaligus ilmu yang dapat menjauhkan
kita dari kekeliruan dan kesesatan berpikir.
Hal ini sulit dibantah karena
kenyataannya,
Ulumul Arobiyyah tidak hanya mengkaji tentang bentuk-bentuk kata (ilmu shorrof) atau status
sebuah kata (ilmu nahwu), tetapi juga mempelajari ilmu tentang keindahan
kalimat (ilmu badi’), ilmu cara pengungkapan pikiran melalui bahasa (ilmu
ma’ani), dan ilmu perihal
cara mengungkapkan maksud dengan gaya bahasa yang berbeda-beda (ilmu bayan).
Tiga ilmu terakhir ini
sangat membutuhkan kemampuan berpikir kritis dan terstruktur.
Dengan ini, secara tidak langsung Syekh
Musthofa telah berargumen bahwa kemampuan berbahasa seseorang (membaca,
menulis, atau berkomunikasi), berbanding lurus dengan kemampuan berpikirnya.
Eka Kurniawan, sastrawan tersohor
Indonesia, juga selaras dengan Syekh Musthofa. Eka
mengatakan, bahwa “menulis itu hanya perkara berpikir”. Hal ini mengindikasikan
kemampuan menulis (berbahasa) yang ditunjang kebiasaan membaca adalah persamaan
dari kemampuan berpikir.
Lantas, pekerjaan rumah kita saat ini adalah kita
mesti bertanya pada diri sendiri,
sudahkah kita memiliki kebiasaan membaca? Jika iya, sudahkah kita paham
terhadap sesuatu yang kita baca? Dan jika iya lagi, sudahkah kebiasaan membaca
kita berpengaruh terhadap kemampuan berpikir kita? Jawab dengan jujur di hati
masing-masing kita.
Selamat menunaikan ibadah
puasa.
Oleh Hilmi Lukman Baskoro, reporter buletin Al-khidmah 2018-2020
Gambar oleh Amirul Islam dari Pixabay
0 Komentar: