Kamis, 15 April 2021

Membaca + Menulis = Berpikir

 



"Mon maca ketab, jek pera’ maca leng-celengnga malolo, tape beca kia te-potena.Saya sengaja membuka tulisan ini dengan salah satu dawuh yang saya dengar langsung dari ustadz saya dahulu ketika masih di pesantren. Dengan tujuan mempertanyakan kembali seberapa paham kita terhadap sesuatu yang telah kita baca.

Dawuh ini bagi saya merupakan langkah lebih jauh dari hanya sekadar perintah membaca. Membaca saja sudah dianggap tidak lagi mencukupi. Harus ada aksi lanjutan dari hanya sekadar kegiatan membaca, harus ada peningkatan dalam kualitas membaca, dan yang terpenting harus ada sebuah hasil dari kegiatan membaca.

Alquran menyebutkan perintah membaca di dalam surah Al-Alaq, yang jika hanya kita pahami secara sederhana, tak ada hal lain lagi yang mesti dilakukan kecuali hanya sekadar membaca. Namun, dalam pemaknaan secara lebih mendalam, kata Iqro’ tidak sebatas pada kegiatan membaca, tapi juga menelaah, mendalami, dan meneliti.

Dari beberapa makna Iqro’ tersebut, dapat dilihat bahwa dawuh ustadz saya adalah pengembangan dari teks Alquran surah Al-Alaq ayat satu tersebut. Kita tidak boleh berhenti hanya dengan membaca tulisan yang tampak. Seyogyanya kita juga meneliti apa makna tersembunyi yang hendak disampaikan penulis.

Secara lebih gampang, dalam kegiatan membaca, kita diperintah tidak hanya semata-mata membaca dan melewatkannya begitu saja, tetapi harus kita iringi pula dengan kegiatan berpikir kritis (berulang-ulang), keberanian untuk menarik kesimpulan, dan bahkan, bila perlu kenekatan untuk bersilang pendapat.

Dalam ranah yang lebih luas dari sekadar kegiatan membaca, dawuh tersebut dapat dipahami sebagai perintah meneliti lebih dalam makna kehidupan yang kita jalani. Dawuh itu seolah-olah memprovokasi pikiran kita bahwa kehidupan selalu menyimpan hal-hal yang bersifat rahasia, yang tidak tampak oleh mata telanjang kita, sebagaimana tulisan yang menyimpan rahasia-rahasia di balik tinta hitam (leng-celengnga) di atas kertas (te-potena).

Tidak mengherankan jika sebagian ulama yang mampu merumuskan hukum-hukum Islam melalui pemikiran yang kritis adalah seorang pembaca kelas berat. Karena proses dan pengetahuan yang didapat dari kegiatan membaca telah mempertajam daya pikir mereka. Fenomena ini kemudian membuat banyak psikolog merumuskan teori keterkaitan antara kecerdasan seseorang dengan kegiatan membaca. Meskipun membaca bukan satu-satunya hal yang mampu meningkatkan kecerdasaan.

Namun, perlu ditengok, tingkat literasi yang tinggi (membaca, menulis, berhitung), juga saling berpengaruh terhadap kadar seberapa maju sebuah negara. Sebagaimana di awal, kegiatan membaca dapat memantik kebiasaan berpikir kritis, pemecahan masalah (problem solving), dan kepekaan sosial. Tiga hal ini sangat berhubungan dengan tingkat kemajuan sebuah negara.

Lihat saja Jepang, sebagai negara salah satu kiblat teknologi dunia masuk jajaran sepuluh besar literasi tertinggi di dunia. Negara yang kebudayaannya menjadi semacam demam di seluruh dunia, Korea Selatan, tak jauh berbeda peringkat literasinya dengan Jepang. Dan Singapura, negara kecil terkaya di Asia Tenggara, adalah salah satu negara yang rakyatnya paling rajin membaca buku di dunia.

Semua kemelut tentang kegiatan membaca ini sekejap mengingatkan saya kepada perkataan Syekh Musthofa Al-Gholayaini dalam kitab monumentalnya, Jaami’u Ad-duruus Al-‘arobiyyah, tentang salah satu tujuan dirumuskannya Ulumul Arobiyyah. Secara singkat beliau menjelaskan bahwa motivasi dirumuskannya Ulumul Arobiyyah adalah kekhawatiran para ahli bahasa akan beberapa fenomena kekeliruan dalam berbahasa.

Maka Syekh Musthofa Al-Gholayaini mendefinisikan Ulumul Arobiyyah sebagai ilmu yang dapat menghindarkan kita dari kesalahan mengucapkan dan menuliskan bahasa (kesalahan berbahasa), sekaligus ilmu yang dapat menjauhkan kita dari kekeliruan dan kesesatan berpikir.

Hal ini sulit dibantah karena kenyataannya, Ulumul Arobiyyah tidak hanya mengkaji tentang bentuk-bentuk kata (ilmu shorrof) atau status sebuah kata (ilmu nahwu), tetapi juga mempelajari ilmu tentang keindahan kalimat (ilmu badi’), ilmu cara pengungkapan pikiran melalui bahasa (ilmu ma’ani), dan ilmu perihal cara mengungkapkan maksud dengan gaya bahasa yang berbeda-beda (ilmu bayan). Tiga ilmu terakhir ini sangat membutuhkan kemampuan berpikir kritis dan terstruktur.

Dengan ini, secara tidak langsung Syekh Musthofa telah berargumen bahwa kemampuan berbahasa seseorang (membaca, menulis, atau berkomunikasi), berbanding lurus dengan kemampuan berpikirnya. Eka Kurniawan, sastrawan tersohor Indonesia, juga selaras dengan Syekh Musthofa. Eka mengatakan, bahwa “menulis itu hanya perkara berpikir”. Hal ini mengindikasikan kemampuan menulis (berbahasa) yang ditunjang kebiasaan membaca adalah persamaan dari kemampuan berpikir.

Lantas, pekerjaan rumah kita saat ini adalah kita mesti bertanya pada diri sendiri, sudahkah kita memiliki kebiasaan membaca? Jika iya, sudahkah kita paham terhadap sesuatu yang kita baca? Dan jika iya lagi, sudahkah kebiasaan membaca kita berpengaruh terhadap kemampuan berpikir kita? Jawab dengan jujur di hati masing-masing kita.

Selamat menunaikan ibadah puasa.

 

Oleh Hilmi Lukman Baskoro, reporter buletin Al-khidmah 2018-2020

Gambar oleh Amirul Islam dari Pixabay

0 Komentar: