Minggu, 02 Mei 2021

Mau Jadi Budak Media?


Di satu malam salat tarawih, di musala yang biasa saya salat di sana, datang seorang jamaah seusia kisaran saya. Dia menggunakan baju putih, dibalut sebuah jas hitam gagah. Ditambah lagi peci nasional hitam yang semakin memberikan kesan berwibawa pada orang tersebut. 

Kekhusyukan salat seorang jamaah itu bukan main. Semua hak huruf-huruf dalam semua bacaan salat dipenuhinya. Yang paling membuat saya semakin terkejut adalah sikap dia ketika menghadap kiblat. Bukannya tepat ke arah barat, tapi lebih ke barat laut. Saya tahu orang itu, tapi kami tidak saling kenal.

Dari apa yang saya lihat itu, otomatis muncul dalam benak saya, jangan-jangan dia salah satu santri yang terpapar paham ekstrem, apalagi ditambah sikap dia soal kiblat yang berbeda dengan kiblat yang dipercaya jamaah kebanyakan. Pikiran-pikiran tentang ekstremisme muncul dengan cepat dalam benak saya.

Saya rasa respon otomatis dari pikiran saya ini merupakan hal biasa yang lumrah terjadi. Jadi seperti ini, sebagian besar orang, ketika dia dihadapkan sesuatu yang asing bagi dirinya, dia akan membangun sebuah citra sekilas dari pengetahuannya tentang sesuatu yang asing tersebut.

Begitu juga dengan saya. Karena saya lama sekali tidak bertemu dengan orang tersebut, yang membuat saya jadi merasa asing kepadanya, secara otomatis dan tidak sadar saya akan membangun citra dalam pikiran saya soal orang itu dengan pengetahuan di masa lalu saya.

Saya tahu, bagaimanapun, memang, secara geografis arah kiblat negara Indonesia tidak sepenuhnya akurat menghadap barat. Tapi, bukankah semua umat muslim Indonesia telah sepakat arah kiblat kita adalah arah barat? Memaksakan arah kiblat pada arah barat laut, terlebih di tengah kebudayaan masyarakat Indonesia yang cenderung hanya berpatokan kepada arah yang empat (barat, utara, timur, dan selatan) barangkali merupakan tindakan berlebihan.  

Kesan "santri ektremis" yang saya sematkan kepada jamaah itu semakin kuat ketika saya ingat, bahwa pelaku bom bunuh diri kebanyakan bermula dari orang-orang yang sulit menerima pendapat-pendapat hukum yang moderat.

Mereka, alih-alih menerapkan metode dakwah yang terang-terangan namun damai, malah memilih dakwah yang terang-terangan namun menumpahkan darah. Apakah hal ini tidak serupa dengan fenomena alih-alih memilih menghadap barat tapi malah menghadap barat laut? Moderatisasi yang diwakili oleh “arah barat” dan “kedamaian” dikalahkan oleh kekolotan “barat laut” dan “tumpah darah”.

Citra yang mewakilkan sesuatu yang asing ini bukan tanpa sebab. Pengetahuan kita terbentuk oleh informasi yang kita konsumsi sehari-hari. Jujur, saya sering membaca berita-berita terorisme. Dan saya rasa, inilah yang menyebabkan saya menyematkan citra “santri ektremis” kepada seorang jamaah itu.

Berbeda lagi jika saya jauh dari berita-berita terorisme, bahkan bila sama sekali tak pernah tahu soal terorisme, mungkin saya akan mencitrakan orang itu hanya sebagai orang biasa seperti halnya diri saya. Dan perihal arah kiblat, saya mungkin beranggapan dia hanya mengikuti pendapat lain soal hukum kiblat wilayah Indonesia.

Dari semua yang saya tulis di atas, dapat disimpulkan (koreksi jika kesimpulan saya salah), bahwa setiap persepsi atau citra kita terhadap sesuatu yang baru pertama kali kita lihat, akan dipengaruhi oleh pengetahuan, bacaan, tontonan, dan kebiasaan kita sehari-hari.

Pengaruh ini juga diperparah dengan berkembangnya arus digital yang sangat masif, membuat semua informasi menjadi semakin bebas tersebar. Dan pada tahap tertentu, kita benar-benar kalah oleh lingkungan kita. Pikiran bahkan tindakan kita diperbudak oleh media digital dan lingkungan. Sehingga, menjadi seorang yang sesuai dengan jati diri kita yang sebenarnya sangatlah sulit.

Mari kita meneliti satu contoh lain agar betul-betul yakin terhadap kekuatan informasi eksternal dalam mengendalikan pikiran kita.

Kita ambil saja citra kita tentang mata pelajaran matematika. Mungkin akan sangat berbeda persepsi kita tentang matematika jika dari awal kita tidak ditakut-takuti oleh kesan bahwa pelajaran matematika begitu horor. Di satu sisi, saya mengakui, memang matematika adalah pelajaran rumit, namun di sisi lain, ketakutan ini telah diperparah oleh pengalaman kakak kelas tentang seramnya matematika yang diceritakan kepada kita.

Ketakutan itu terus-menerus didukung oleh sistem pendidikan yang tidak ramah dalam metode pembelajaran matematika, juga karena guru matematika yang tersohor guru menakutkan. Pada saat inilah persepsi buruk perihal matematika akan bertahan lama dalam pikiran kita.

Dalam tindakan lebih lanjut, guna menghindari ketergantungan pikiran kita terhadap informasi yang kita konsumsi setiap hari, kita mau tidak mau harus giat menyeleksi. Kita harus pintar-pintar dalam memilah kabar-kabar yang simpang-siur. Sehingga, kita dapat benar-benar mencapai taraf yang disebut “kemerdekaan berpikir”. Kebebasan berpikir yang terhindar dari intervensi kepentingan apapun.

 

Oleh Hilmi Lukman Baskoro, reporter buletin Al-khidmah 2018-2020.

Gambar oleh Jan VaĊĦek dari Pixabay 

0 Komentar: