Selasa, 15 Desember 2020

Dia yang Terbuang


Guratan kuning kemerah-merahan tercetak indah menghiasi langit, menambah keindahan senja, menunjukkan betapa eloknya lukisan hasil Sang Pemilik Alam. Keramaian binatang pengerat menjadi pengiring seolah mereka gembira akan datangnya malam.

“Mau kamu apa Dan?” suara bentakan perempuan terdengar keras memecahkan suara lainnya. “Umi susah-susah ngerawat kamu, mencari uang, dan menyekolahkan kamu. Umi ingin kamu sukses Dan, tetapi kenyataannya kamu malah membuat Umi kecewa,” lanjut perempuan yang tak lain adalah ibu Danu, ia mulai terisak.

“Danu minta maaf mi! Danu waktu itu khilaf, Danu ti...-“

“Mana mungkin waktu itu kamu khilaf Dan! Kamu nggak malu apa sama orang-orang?” sergah uminya memotong perkataan Danu.

Danu terisak semakin kencang. “Sekali lagi maafin Danu, Danu benar benar khilaf mi!”

Cplash..! Suara kencang tersebut mengagetkan Danu, Danu mengaduh kesakitan. “Sekali lagi kamu bilang khilaf Dan, kamu melakukannya dihadapan banyak orang dan kamu diusir dari pesantren gara-gara itu!!” 

Danu memegangi pipinya yang memerah, dia terdiam memandang uminya. Sebenarnya Danu adalah seorang santri yang sangat rajin dan sering berprestasi, tetapi gara-gara sewaktu bertugas ke asrama putri, dia janjian untuk bertemu dengan pacarnya. Dan ketika bertemu, tanpa berpikir panjang dia mencium pacarnya di hadapan banyak orang.

Uminya terdiam memandang balik Danu yang masih terisak, sebenarnya dia tidak tega menampar Danu dan dia juga kasihan melihat anaknya. “Ah sudah Dan umi mau keluar.”

“Mi… umi mau kemana? Jangan keluar mi! Danu di sini kesepian,” rengek Danu tidak dihiraukan oleh uminya.

Malam telah datang menggantikan senja, bintang- bintang pun menjadi sketsa indah yang tiada tandingannya untuk menghiasi angkasa raya. Mencekamnya malam juga datang seakan ikut bersedih melihat Danu menangis meratapi kesalahannya.  

Danu tersadar dari lamunannya ketika suara ketukan pintu terdengar. “Maaf dek.. ini rumahnya Bu Vina ya?” tanya seorang perempuan muda setelah Danu membuka pintunya. Danu mengangguk mengiyakan “Oh kamu anaknya ya?” lanjut perempuan itu bertanya.

Danu kembali mengiyakan  pernyataan perempuan itu “emmm… emangnya ada apa mbak, ada perlu sama umi ya?”

“Eh nggak dek, mbak hanya mau ngasih kabar kalau ibu kamu tadi kecelakaan…” deg! Hati Danu seakan tertampar mendengarnya, “Dia ditabrak truk dek! lukanya parah,” imbuhnya seraya memberikan foto kejadian untuk membuat Danu percaya.

Tangis Danu mulai pecah tidak dapat dibendung lagi. Bayangan masa lalu mulai terputar bagai film dalam benaknya, kenangan pada saat ia masih berkumpul bersama keluarganya hingga pada saat ia mengecewakan uminya. “Umi jahat. Umi kok tega ninggalin Danu sendiri, Danu tidak punya siapa-siapa lagi, Danu di sini mau sama siapa mi?” teriak Danu dengan suara mulai parau sebelum pandangannya gelap.


***

Bunyi deritan gerbang terbuka, kembali memecah keheningan malam setelah ditinggalkan oleh suara-suara instrumentnya yang telah pergi, menyisakan seorang anak yang sedang terisak di sofa.

“Assalamualaikum!” sapa perempuan berhijab biru tua tersebut mendekati sofa. Anak itu diam tidak menjawab salam, dia masih menyibukkan diri menutupi bekas tangisannya.

“Maafin aku mi..! aku banyak salah sama umi, sering menolak perintah umi, membantah dan terkadang membuat umi sakit hati,” sela anak itu tiba-tiba menyalami uminya dengan keadaan masih terisak.

“Kenapa sih anak ini…?”  batin umi, orang tersebut menggerutu keheranan. “Iya, iya umi maafin. Emangnya kenapa sih cuma minta maaf saja sampai nangis-nangis segala?” sahutnya kemudian bertanya.

Anak tersebut diam tidak menjawab, dia malah tersenyum tipis memamerkan senyum pepsodentnya dan menunjukkan mutiara putih kebanggaannya. “Hehehe… ini nih mi! Tadi itu ada film bagus, filmnya menceritakan tentang seorang ibu yang dikecewain anaknya. Filmnya mellow mi, makanya aku nangis.”

“Ah lebay kamu. Dikira ada apa-apa loh! Sampai umi tadi khawatir, eh tahunya anak umi nangis cuma gara-gara lihat film.” anak yang bernama Ahmad itu tersenyum mendengar celetukan uminya.

  “Eh iya Mad, abi ke mana kok nggak ada?” lanjut uminya celingukan melihat keadaan sekitar yang sepi.

“Oh, abi tadi ke balai desa, terus aku disuruh masak, teta…-“

Belum selesai Ahmad berbicara sudah terlebih dahulu dipotong oleh uminya. “Terus mana masakannya? Kok umi lihat di dapur tidak ada apa-apa?”

“Ini bentar mi, Ahmad masih OTW salat magrib terlebih dahulu habis itu baru Ahmad memasak. Kan adek masih belum pulang mengaji mi,” jelas Ahmad nyelonong pergi ke kamar mandi.

“Huh kebiasaan,” ujar uminya mendengus pelan membuat Ahmad yang berjalan ke kamar mandi cengengsan.

Belajarlah mengalah sampai tak seorangpun yang bisa mengalahkanmu.
Belajarlah merendah sampai tak seorangpun yang bisa merendahkanmu.
- Gobind Vashdev -


0 Komentar: